Senin, 16 April 2012

APAKAH GAJAH MADA SIMBOLISASI ORDE BARU


Bagian I Latar Belakang Kisah Gajah Mada

Gajah Mada berasal dari seorang pemimpin pasukan dengan pangkat begelen atau lurah prajurit, yang kemudian menyelamatkan raja Majapahit Sri Jayanagara ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti, dilarikan ke daerah sekitar Lumajang. Setelah melakukan penyusunan kekuatan, kemudian berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit yang ibu kota kerajaan sempat dikuasi oleh pasukan pemberontak yang dipimpin Ra kuti.


Setelah itu Gajah Mada diangkat menjadi patih di kerajaan bawahan Majapahit yaitu Daha, dilanjut menjadi patih di Jenggala  dan akhirnya diangkat menjadi Maha Patih di kerajaan Majapahit. Gajah Mada berhasil menumpas pemberontakan dibeberapa daerah kerajaan bawahan kerajaan Majapahit juga, yaitukerajaan Sadeng dan Keta, dilanjut dengan invasi terhadapa ke kerajaan Bali. Ketika diangkat atau dinobatkan menjadi maha patih di kerajaan Majapahit, disitulah Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal dengan sebutan "Sumpah Palapa".

Cerita asal mula karier Gajah Mada, mulai dari begelen pasukan Majapahit sampai mengucapkan Sumpah Palapa yang sebelumnya diselingi dengan kisah penyelamatan raja Sri Jayanagara, dan itulah sebenarnya yang dikisahkan oleh kitab Pararaton, dengan catatan tidak ada sumber sejarah lain yang mengatakan hal yang sama atau mendukung kisah itu.

Bagian II Hasil Analisa Kitab Pararaton

Hasil analisa dari kitab Pararaton berdasarkan asal usul pembuatan kitab, didapat beberapa kesimpulan yaitu bahwa kisah Ken Arok, perang Bubat dan Sumpah Palapa adalah dusta atau kebohongan sejarah, dengan tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa oleh kaum penjajah Belanda dalam rangka menggalkan terwujudnya persatuan dan kesantuan bangsa dengan simbolisasi Sumpah Pemuda.

Dua suku bangsa besar yang merupakan pondasi kesatuan bangsa ini, mereka diarahkan untuk saling besetru, bermusuhan, dan akhirnya perang dingin berkepanjangan yaitu Jawa disimbolkan oleh kerajaan Majapahit dan Sunda disimbolkan oleh kerajaan Sunda Galuh, dengan akhir tragedi tercipta kisah perang Bubat sebagai issue yang dilemparkan ke publik.

Kisah Ken Arok hanya sebagai alasan, lebih kearah pembenaran bahwa memang ada asal usulnya kalau kelicikan atau praktek mensiasati alias tipu daya itu di lakukan oleh orang-orang Kerajaan Majapahit yang seoalah-olah dilakukan secara turun temurun sifat seperti itu, sebab Sri Rajasa Sang Anurwabhumi alias Ken Arok sebagai raja pertama dari Wangsa Rajasa, cikal bakal dari raja-raja kerajaan Majapahit.

Sri Rajasa sendiri awalnya dikisahkan sebagai seorang kriminal, brutal dan yang berhasil merebut kekuasaan dari kerajaan yang ada pada waktu itu yaitu Kediri yang sebelumnya ada komplik perebutan kekuasan wilayah Tumapel (versi kitab Pararaton) dan mendirikan kerajaan sendiri yaitu Tumapel (Singhasari, versi kitab Pararaton).

Alasan  langsung supaya terjadinya perang Bubat adalah dengan adanya keterikatan Sumpah Palapa yang dilakukan Gajah Mada, ini alibi yang harus dipersalahkan, merupakan sebab yang pas untuk alasan timbulnya perang tersebut, dengan Gajah Mada sebagai kambing hitamnya.

Dalam sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit, hanya ada 2 kerjaan yang tidak tidak tercatat sebagai kerajaan taklukan, yaitu kerajaan Sunda Galuh dan Madura.

Kalau kerajaan Majapahit memperlakukan kerajaan Sunda Galuh seperti dalam cerita perang Bubat, berarti double standard atau standar ganda, soalnya dengan Madura juga mereka punya hubungan sejarah yang kental, begitu juga dengan kerajaan Sunda Galuh. Terlebih Sunda Galuh adalah kerajaan adidaya pada waktu itu, kemungkinan ada deal-deal politik bisa saja terjadi.

Lantas apa motifnya kitab Pararaton menceritakan kisah yang tidak ada dalam sumber sejarah lain, yaitu proses penyelamatan raja Majapahit dalam arti luas menyelamatkan keutuhan kerajaan atau negara Majapahit, dengan latar belakang Gajah Mada dari prajurit tingkat menengah, tiba-tiba menyelamatkan raja. Cerita itu kelihatan realistis sekali dibuat dengan alur yang masuk logika dari setiap tahapanya, sehingga seorang prajurit menengah bisa berkarier menjadi seorang pejabat negara yang disegani dan malahan mempunyai peran dominan dalam menentukan kebijakan negara pada akhirnya.

Bagian III Kemiripan Kisah Gajah Mada dengan Awal Berdirinya ORBA

Ini sepertinya kisah yang disisipkan, atau kisah yang terasa mirip, kisah yang menjadi simbol atau perlambang bagi yang lainya, dan bisa jadi didasari oleh suatu kepentingan. Cerita sejarah dimasukan pasti ada motif tertentu, kalau ternyata itu suatu yang tidak benar dan kisah Gajah Mada mulai awal berkarier sampai akhirnya menjadi Maha Patih di Majapahit hanya baru satu sumber yaitu kitab pararaton yang mengkisahkannya.


Pertanyaannya, atas dasar kepentingan apa cerita itu dibuat atau semisalnya terjadi penyisipan, siapa atau pihak mana yang mempunyai kepentingan atas alur dan nuasa cerita itu, terlebih maksud dan tujuannya apa? Sekali lagi pertanyaan ini berlaku kalau memang cerita itu cerita yang tidak pernah terjadi.

Kitab Pararaton yang ada sekarang dijadikan referensi sejarah menurut informasi bahwa kitab itu terakhir dicetak dengan metoda atau tehnik pres yaitu tahun 1966, walau pun tetap identitas si pembuat menunjukan tahun saka sekitar abad ke-16.

Petikannya seperti ini “



Pada tahun 1966 juga adalah masa terjadinya pergolakan politik di Indonesia, masa-masa peralihan, yang ditandai dengan kisah pemberontakan atau kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan peristiwa yang terkenal dengan sebutan G 30 S /PKI karena awal terjadinya tanggal 30 September tahun 1965, yang penumpasannya oleh Letnan Jenderal (Letjen) Suharto(red, Presiden RI ke-2) dan juga kisah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)pada tahun 1966.

Pada waktu itu (1966) Presiden Soekarno diceritakan diungsikan, karena ada kekuatan militer yang mengepung istana ketika terjadi sidang kabinet. Penyelamatan pun segera dengan evakuasi yang dilakukan dilakukan dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Tapi kemudian kembali lagi setelah mendapatkan laporan bahwa kondisi kemanan sudah dipulihkan, dan diterangkan bahwa hal tersebut karena terjadi miss komunikasi antar pasukan.

Setelah itu dengan mandat Supersemarnya, Letjen Suharto memegang kendali penuh atas operasi pengamanan dan pemulihan kemanan negara. Proses berlanjut terus yang akhirnya Letjen Soeharto menjabat sebagai presiden semetara mengantikan sementara Presiden Sukarno yang diangkat oleh MPR Sementara pada tanggal 12 Maret 1967 dan pada tahun 1968 resmi menjadi presiden menggantikan Presiden Soekarno, kemudian dilanjut lagi berdasarkan hasil pemilu, ditetapkanlah oleh MPR pada tahun 1973 menjadi presiden kembali dan setrusnya.

Kondisi Presiden Soekarno pada tahun kisaran 1965-1968 waktu itu secara politik pengaruhnya memang sudah sangat melemah. Banyak ketidakpuasan dari berbagai pihak dan elemen masyarakat, terlebih dari lawan politiknya.

Sri Jayanagara alias Kalagemet, Kalagemet sendiri adalah nama lain dari Sri Jayanagara raja Majapahit setelah Raden Wijaya, menurut kitab Pararaton.Kalagemet mempunyai arti manusia yang lemah dalam arti kepemimpinan, sifatnya yang tidak tegas, banyak terpengaruh oleh orang-orang disekitarnya. Kitab Pararaton sendiri menceritakan pula tentang kebiasaan Sri Jayanagara ini tentang kesukaannya terhadap lawan jenis secara urakan. Menurut rumor presiden pertama bangsa nusantara ini juga mempunyai kebiasaan dan sikap yang hampir mirip, kebenaran rumor-rumor ini sendiri tidak bisa dipertanggungjawabkan, bisa jadi ini hanya lemparan issu dari pihak lain atau lawan politiknya, dalam komplik politik segalanya bisa terjadi, walau pun menembus batas-batas diluar kemanusiaan, sikap yang harus dilakukan untuk menanggapi issu-issu semacam itu adalah selalu mengedepankan azas praduga tak bersalah.

Dalam film G 30 S/PKI versi jaman orde baru, yang selalu ditanyangkan setiap tanggal 30 September, setiap tahun tentunya pada masa itu, yang sekarang tidak pernah terulang lagi, terdapat kisah sebelum peristiwa pemberontakan PKI, Presiden Soekarno menderita sakit sehingga harus mendatangkan dokter dari negeri Cina.

Sri Jayanagara sebelum terjadi pemberontakan, dikisahkan dia juga mengalami sakit bisulan (red, semacam sfillis) akibat kebiasaanya itu dan kisah selanjutnya adalah proses pencobaan pembunuhan oleh seorang tabib bernama Tanca, dan akhirnya dikisahkan bahwa si tabib dibunuh oleh Gajah Mada karena ketahuan akan niatnya.

Ra Kuti adalah abdi dalam istana yang memberontak setelah mempengaruhi sebagian angkatan pasukan tentara kerajaan Majapahit lainnya. PKI pun dikisahkan sudah membentuk angkatan ke 5 dari para petani dan buruh yang dipersenjatai. Dua-duanya berhasil menguasai ibu kota negara dengan mempengaruhi angkatan lainya dalam tubuh pasukan militer.

PKI berhasil membujuk oknum angkatan udara serta pasukan elit pengawal presiden. Artinya sama-sama pemberontakan itu berasal dari orang dalam dari lingkungan istana bahkan dekat dengan raja kalau kisah pemberontakan Ra Kuti, dan yang dekat dengan presiden kalau dalam kisah G 30 S/PKI.

Didalam kitab Negara Kertagama tidak disinggung sedikitpun kisah pemberontakan Ra Kuti dan Sri Jayanagara tidak pula mempunyai kisah aneh-aneh. Biasa saja dalam menjalankan tugas kerajaannya sebagaimana mestinya.

Gajah Mada diceritakan oleh oleh kitab Negara Kertagama tiba-tiba muncul menjadi mahapatih di kerajaan Majapahit, sedang asal usulnya tidak diketahui. Ketiadaan informasi inilah merupakan celah lebar untuk menyisipkan cerita didalamnya. Satu hal bahwa kalau Gajah Mada berasal dari prajurit menengah, lantas tiba-tiba menjadi Mahapatih, tentunya harus ada alasan yang mendasar, karena secara organisasi militer itu tidak mungkin. Terlalu banyak yang dilompati. Dasar pembenarannya yaitu dengan tindakan penyelamatan raja, dalam arti luasnya penyelamatan kerajaan, supaya diakui oleh masyarakat kerajaan.

Letjen Soeharto dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam beberapa peristiwa berhasil secara gemilang, dan dalam tempo singkat berhasil menjabat sebagai pejabat presiden sementara, lantas kemudian menjadi presiden penuh. Tentunya ada beberapa level jenjang kemiliteran yang dilompati. Tidak ada yang salah memang, hal itu bisa saja terjadi, tetapi untuk memberikan kenyamanan dan ketentraman harus ada suatu efek sentuhan psikologi masyarakat, ada praduga bahwa dua cerita ini ada kemiripan.

Bagian IV Penutup

Kemiripan alur cerita ini, bisa jadi kebetulan. Kalau mau dimiripkan juga kelihatannya bisa, artinya Gajah Mada bisa diumpamakan sebagai simbolisasi atau perlambang dari pembenaran dari kisah proses perjalalanan terbentuknya orde baru, atau juga cerita yang dibuat mirip. Kisah ini bisa jadi yang satu tergantung yang lain, bisa cerita yang satu didasari atas yang lain, hubungan bolak balik.

Tidak ada efek langsung memang atau pun proses pembenaran untuk sesuatu masalah yang ditutup-tutupi kalau pun misalnya menjadi perlambang, tapi ini mungkin hanya sekedar propaganda untuk cipta kondisi, sehingga menimbulkan efek psikologis masyarakat, bahwa memang dalam sejarah sudah ada contoh hal tersebut. Mungkin bisa jadi atas dasar ada kepentingan besar yang harus diselamatkan, kalau pun itu memang terjadi, kesatuan dan persatuan bangsa itu yang lebih utama. Sehingga desas-desus proses peralihan yang dicurigai sebagai pengambilalihan kekuasaan, yang bisa jadi menimbulkan  konflik horizontal, oleh sebagian kalangan dapat diredakan.

Cerita ini silakan ditafsirkan sendiri oleh pembaca yang budiman, atau silahkan menjustifikasi masing-masing tentang kebenaran dari logika cerita ini dan mudah-mudah cerita ini tidak benar. Kalau pun benar tidak ada yang patut dipersalahkan, bisa saja semua berawal dari niat baik, bisa jadi pihak para pelaku orba juga tidak paham tentang perubahan cerita itu, bisa jadi ada pihak ketiga yang mempunyai niat baik untuk menjaga keutuhan bangsa. Segala kemungkinan selalu ada dan bisa terjadi termasuk cerita atau kisah Gajah Mada itu pun tidak bisa dipandang salah, selama pembuktian sejarah masih belum ada, sekali lagi selalu kedepankan azas praduga tak bersalah.

Referensi :


1                                        http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/
                http://id.wikipedia.org/wiki/ 
                                                                                      http://www.inijalanku.com/sipilis-dan-obatnya.html


Sabtu, 04 Februari 2012

APA SESUNGGUHNYA VALENTINE’S DAY?


Assalamu’alaikum wr. wb.,
Banyak orang, diantaranya generasi muda muslim, terjerumus pada kegiatan menyanjung dan mengistimewakan satu hari pada bulan Februari. Mereka serempak merayakan Februari. Mereka serempak merayakan Valentine’s Day, yang juga disebut Hari Kasih Sayang. Kalau memang generasi muda muslim mau sedikit tanggap, maka mustahil mereka mengikuti acara tersebut. Muncul satu pertanyaan dikalangan remaja muslim berkenaan dengan acara tersebut.

Awalnya bangsa Romawi merayakan acara untuk memperingati suatu hari besar mereka, yang jatuh setiap 15 Februari, yang mereka namakan Lupercalia. Peringatan ini dirayakan guna menghormati Juno (Tuhan Wanita) dan Perkawinan, serta Pan (Tuhan dari alam ini), seperti apa yang mereka percayai.
Pada saat itu, digambarkan orang-orang muda “laki-laki dan wanita” memilih pasangannya masing-masing dengan menuliskan nama atau mengundi nama dari orang-orang yang diingin-kannya, kemudian pasangan ini saling tukar bertukar hadiah sebagai pernyataan cinta kasih. Acara ini dilanjutkan dengan berbagai macam pesta dan hura-hura bersama pasangan masing-masing. Pergaulan dengan pasangan yang didapat dalam pesta itu dapat berlangsung lama sesudah pesta itu berakhir. Setelah penyebaran agama Kristen, Para Pemuka Gereja mencoba memberikan pengertian ajaran Kristen terhadap para pemuja berhala itu. Pada tahun 496 Masehi, Paus Gelasius (Pope Gelasius) mengganti peringatan Lupercalia itu menjadi Saint Valentine’s Day, yaitu Hari Kasih Sayang Untuk Orang-Orang Suci.

Dalam sejarah perayaan Valentine, para ahli sejarah tidak setuju dengan adanya upaya untuk menghubungkan hal itu dengan St. Valentine, seorang Pendeta yang hidup di Roma pada tahun 200 masehi, dibawah kekuasaan Kaisar Claudius II. St. Valentine ini pernah ditangkap oleh orang-orang Romawi dan dimasukkan ke dalam penjara, karena dituduh membantu satu pihak untuk me-musuhi dan menentang Kaisar. St. Valentine ini berhasil ditangkap pada akhir tahun 270 masehi. Kemudian orang-orang Romawi memenggal kepalanya di Palatine Hill (Bukit Palatine) dekat altar Juno.

Dalam kaitannya dengan acara Valentine’s Day, banyak pula orang mengkaitkan dengan St. Valentine yang lain. St. Valentine ini adalah seorang Bishop (Pendeta) di Terni, satu tempat sekitar 60 mil dari Roma. Iapun dikejar-kejar karena mempengaruhi beberapa keluarga Romawi dan memasukkan mereka ke dalam agama Kristen. Kemudian ia dipancung di Roma sekitar tahun 273 masehi. Sebelum kepalanya dipenggal, Bishop (Pendeta) itu mengirim surat kepada para putri penjaga-penjaga penjara dengan mendo’akan semoga bisa melihat dan mendapat kasih sayang Tuhan dan kasih sayang manusia. “Dari Valentinemu” demikian tulis Valentine pada akhir suratnya itu. Surat itu tertanggal 14 Februari 270 M. sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang.

Dari sejarah perjalanan Valentine’s Day ini, sudah selayaknya umat Islam, khususnya generasi muda, untuk tidak mengadakan, memperinci, bahkan mengistimewakannya. Dahlan Basri Ath Thahiri (Ketua Ikatan Masjid Indonesia Pusat) memberikan fatwanya dengan tegas : “Haram hukumnya mengikuti kegiatan Valentine’s Day, dalam bentuk apapun juga.

Tentunya sebagai kaum muslimin, demi menjaga kemurnian aqidah, kita wajib menjauhinya, karena acara Valentine’s Day bertentangan dengan aqidah Islam. Marilah kita merenungkan kandungan makna dari QS. Al Baqarah (2) 120 : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah (cara hidup) mereka. katakanlah ; “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.

ADA APA DENGAN VALENTINE’S DAY ?

Pada bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan “selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih sayang”. Benarkah demikian?

SEJARAH VALENTINE’S DAY

The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day :
Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources—plus the belief that spring is a time for lovers.”

Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama –nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).
Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang 

St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).
Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!

Saudaraku, itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?. Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita -remaja putra-putri Islam- yang terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Padahal Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabnya” (Al Isra’ : 36).

HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE

Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).

Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.”

Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah n berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan :
“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam. Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.
Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan:
“Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (Al-Hadits).

SEBUAH RENUNGAN : 
VALENTINE DAY(HARI BERKASIH SAYANG)... VALENTINE DAY(HARI BERKASIH SAYANG)... VALENTINE DAY(HARI BERKASIH SAYANG)...

Benarkah ia hanya kasih sayang belaka ???

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah Al-An’am : 116)
Hari ‘kasih sayang’ yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir disebut ‘Valentine Day’ amat popular dan merebak di pelusuk Indonesia bahkan di Malaysia juga. Lebih-lebih lagi apabila menjelangnya bulan Februari di mana banyak kita temui jargon-jargon (simbol-simbol atau iklan-iklan) tidak Islami hanya wujud demi untuk mengekspos (mempromosi) Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik(disko/kelab malam), hotel-hotel, organisasi-organisasi mahupun kelompok-kelompok kecil; ramai yang berlumba-lumba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan(pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio mahupun televisyen; sebagian besar orang Islam juga turut dicekoki(dihidangkan) dengan iklan-iklan Valentine Day


SEJARAH VALENTINE:

Sungguh merupakan hal yang ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri ‘terjun’ dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut ‘Syuhada’) yang kerana kesalahan dan bersifat ‘dermawan’ maka dia diberi gelaran Saint atau Santo.

Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai ‘upacara keagamaan’.

Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara keagamaan’ tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta ‘supercalis’ kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu ‘kasih sayang’ itu mulai bersemi ‘bagai burung jantan dan betina’ pada tanggal 14 Februari.
Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti ‘galant atau cinta’. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang ‘martyr’ bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat(melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak ‘akidah’ muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang.

PANDANGAN ISLAM

Sebagai seorang muslim tanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah kita akan mencontohi begitu saja sesuatu yang jelas bukan bersumber dari Islam ?
Mari kita renungkan firman Allah :“ Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya”. (Surah Al-Isra : 36)
Dalam Islam kata “tahu” berarti mampu mengindera(mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekadar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan(bila), bagaimana, dan di mana, akan tetapi lebih dari itu.
Oleh karena itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng(mendorong/mengikut) kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut TAQLID. Hadits Rasulullah SAW :“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”. 
Firman Allah SWT dalam Surah AL Imran(keluarga Imran) ayat 85 :“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. 

Sabtu, 14 Januari 2012

HISTORY OF ISLAM IN INDONESIA



by: Tata Muhtadin

 In the year 30 AH or 651 AD, only about 20 years later than the death of the Prophet Muhammad, Caliph Uthman ibn Affan RA send a delegation to China to introduce the Islamic State that has not been long standing. In a journey which took four years, the delegates had Uthman was stopped in the archipelago. A few years later, in the year 674 AD, the Umayyad dynasty had established trading bases on the west coast of Sumatra. This is the first introduction of the Indonesian population to Islam. Since then, Muslim sailors and traders continued to arrive, century after century. They buy the produce of the land is green nan while preaching.

Gradually the natives began to embrace Islam although not on a large scale. Aceh, the westernmost region of the archipelago, is the first one to receive the religion of Islam. Even in Acehlah first Islamic kingdom in Indonesia stands, namely Pasai. News from Marco Polo said that during his sojourn in Pasai in 692 AH / 1292 AD, has many Arabs who spread Islam. Similarly, news of Ibn Battuthah, Muslim nomads of the Maghreb., Which when dropped in Aceh in 746 AH / 1345 AD writes that in Aceh have been scattered Shafi. The oldest relic of the Muslims are found in Indonesia located in Gresik, East Java. Islamic tomb complex form, which one of them is the tomb of a Muslim woman named Fatima bint Maimun. Numbers written on his tomb in 475 AH / 1082 AD, ie at the time of the Kingdom Singasari. It is estimated that the tombs are not from the natives, but the tomb of the Arab traders.

Up to the 8th century AH / 14 AD, there is no indigenous population pengislaman massive archipelago. New in the 9th century AH / 14 AD, the indigenous population converted to Islam en masse. The historians argue that the conversion to Islam Nusantara population massively in the century when it was due to the Muslims already have a meaningful political force. That is marked by the establishment of several Islamic kingdoms like the Kingdom of patterned Aceh Darussalam, Malacca, Demak, Cirebon, and Ternate. The rulers of these kingdoms mixed-blood descendants of the kings of indigenous pre-Islamic and Arab immigrants. The rapid Islamization in the 14th century and 15 AD, among others, are also caused by the decline of power and influence of the kingdoms of the Hindu / Buddhist in the archipelago such as the Majapahit, Sriwijaya and Sundanese. Thomas Arnold in The Preaching of Islam says that the arrival of Islam is not as conquerors as well as the Portuguese and Spanish. Islam came to Southeast Asia by peaceful means, not by the sword, not to seize political power. Islam entered the archipelago in a way that really show it as rahmatan lil'alamin.

With the conversion to Islam Nusantara indigenous population and the formation of Islamic governments in various regions of the archipelago, the trade with the Muslims from the center of the Islamic world is becoming increasingly tight. The Arabs who migrated to the archipelago are also more and more. The largest of them are derived from Hadramaut, Yemen. In Tarikh Hadramaut, migration is even said to be the largest in the history of the Hadramawt. But after the nations of Christian Europe came and secured the area with the greed-by areas in the archipelago, the relationship with the center of the Islamic world as if disconnected. Especially in the 17th and 18th centuries AD. The reason, apart from being preoccupied with the Muslim archipelago of resistance against colonialism, as well as various regulations created by the colonialists. Each time the invaders - mainly Dutch - subjugate the Islamic empire in the Archipelago, they would thrust treaty which forbade royal relate trade with the outside world except through them. Then disconnect the Islamic Ummah Islamic Ummah from the archipelago to the other nations that have established hundreds of years. The colonialist desire to alienate Muslims archipelago with its roots, is also seen from those policies that make blending between the indigenous Arabs.

Since the early arrival of the Europeans at the end of the 15th century AD to the fertile islands of this prosperous, was already seen their greed for control. Moreover, they found the fact that the islanders have embraced Islam, the religion of their enemies, so that the spirit of the Crusades was always carried around every time they beat a region. In the fight against Islam they work together with indigenous kingdoms are still adhered to the Hindu / Buddhist. One example, to decide the shipping lanes of the Muslims, then having seized Malacca in 1511, the Portuguese formed a partnership with the Kingdom of Sunda Pajajaran to build a base in the Sunda Kelapa. But this Portuguese mean total failure after the joint forces of Islam from the north coast of Java along hand in hand to demolish them in 1527 AD. Of the historic battle was led by an Arab-blooded son of Aceh Gujarat, namely Al-Pasai Overdust Khan, better known by his title, Fathahillah. Before becoming an important person in the three Muslim kingdoms of Java, namely Demak, Cirebon and Banten, Fathahillah had studied in Mecca. Even to defend Mecca from the advancing Ottoman Turks.

Arrival of the colonialists on the one hand has aroused the spirit of jihad of the Muslims archipelago, but on the other hand makes uneven deepening of Islamic theology. Just a pesantren (Islamic schools) are steeped in Islam, and even then usually limited to the Shafi. While most of the Muslim Ummah, there was mixing faith with pre-Islamic tradition. Prijajis close to the Dutch in fact already infected with the European lifestyle. Conditions like this are still happening at least until now. Apart from this, the scholars of the archipelago are the ones who adamantly opposed the occupation. Although many of them come from the congregation, but it is often among the congregation rose against the invaders. And although in the end of each such resistance was crushed by sneaky tactics, but history has recorded millions of martyrs who died in the archipelago various battles against the Dutch. Since the resistance of Islamic kingdoms in the 16th and 17th centuries such as Malacca (Malaysia), Sulu (Philippines), Pasai, Bali, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, until the resistance of the clergy in the 18th century such as the War Cirebon (Good raryin), the Java War (Diponegoro), Padri War (Imam Bonjol), and the Aceh War (Teuku Umar).

REPUBLIK SENDAL JEPIT


Republik Sandal Jepit
Oleh : Tata Muhtadin

Sandal jepit cukup populer di kalangan masyarakat. Dan dua hari terakhir, nama sandal jepit sampai disebut-sebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perhatian SBY terhadap sandal jepit dikarenakan kasus yang menimpa AAL, seorang pelajar SMK berusia 15 tahun. Pada Maret 2011, anggota Polri Briptu Ahmad Rusdi yang indekos di Jl. Zebra, Palu, merasa kesal lantaran sandal jepit miliknya selalu hilang. Rusdi menuding AAL sebagai pelaku pencurian. Sayangnya, proses hukum sepertinya tak berpihak kepada AAL. Ia mengaku telah dianiaya polisi.

Kasus berlanjut ketika para polisi ini dilaporkan ke Propam Polda Sulteng. Para polisi pun sudah dijatuhi hukuman. Dari sini, kasus yang sedianya selesai secara kekeluargaan, berbelok ke ranah hukum. Para polisi ini membawa perkara pencurian sandal tersebut ke ranah hukum dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa. Hal inilah yang membuat simpati dari berbagai kalangan masyarakat bermuculan di sejumlah daerah. Mirip dengan kasus yang menimpa Prita, masyarakat pun menggelar aksi pengumpulan 1.000 sandal jepit. Pengumpulan sandal jepit itu bertujuan untuk menyindir penegak hukum karena dinilai melakukan tugasnya tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum di negeri ini dinilai masih sangat diskriminatif.

Jauh sebelum kasus “sandal jepit” merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya “Besar dan Kecil”. Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.

Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.

Kasus AAL mengingatkan kita pada kasus nenek Minah (55) yang didakwa mencuri tiga buah kakao di Kabupaten Banyumas pada November 2009. Seolah dalam sejumlah kasus, hukum sudah tak berpihak lagi kepada rakyat kecil, tetapi kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan tentunya uang.

Meski sudah ada reformasi di bidang politik, untuk urusan hukum tetap saja jalan di tempat. Penegakan hukum seperti pisau dapur yang hanya tajam ke bawah, tapi tumpul di atas. Atas nama hukum, banyak sekali koruptor yang melenggang bebas. Kita lihat berapa hukuman terberat seorang koruptor yang jelas-jelas merampok uang negara.

Belum lagi fasilitas istimewa dan sejumlah keistimewaan lainnya saat para koruptor ini dipenjara. Pemerintah, penegak hukum, dan pengadilan tampak begitu ramah terhadap mereka yang berduit. Sering kali terdengar, aparat hukum banyak bermain-main dengan para koruptor. Kasus Gayus Tambunan membuktikan betapa tidak seriusnya negara ini menegakkan hukum.

Kasus sandal jepit ini memang cukup jelas mengguncang nurani masyarakat akan keadilan. Meski harus kita akui, hukum juga harus ditegakkan. Namun, seperti konsep keadilan, apakah perlu kasus pencurian seperti itu masuk dalam ranah pemidanaan, terlebih perkara ini menyangkut anak di bawah umur. Kalaupun memang benar-benar mau ditegakkan tanpa pandang bulu, hukum seharusnya seperti belati, tajam di ujung dan kedua sisinya. Hukum seharusnya juga buta seperti yang disimbolkan patung Dewi Keadilan.

Keadilan hukum di negeri ini faktanya hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.

Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.

Tidak Ada Kedaulatan Negara Tanpa Rasa Keadilan
Tujuan akhir bernegara adalah menciptakan keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara dibentuk untuk empat tujuan yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Empat tujuan bernegara tersebut sesungguhnya sangat bertautan dengan keadilan.

Apakah UUD 1945 dijalankan secara konsekuen ? Mari coba kita tengok sebuah fakta tentang penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. The World Justice Project dalam Rule of Law Index 2010 memberi sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan. Dari 35 negara yang disurvei seperti Amerika Serikat,Swedia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Spanyol,Australia, Afrika Selatan, Meksiko, Argentina, Turki, Thailand, Peru, Bolivia, Maroko, dan sebagainya, Indonesia mendapatkan nilai rendah untuk keadilan (access to justice) dengan peringkat ke-32 dari 35 negara.

Sementara untuk kategori pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, kita berada di posisi tengah-bawah di peringkat ke-25 dari 35 negara. Data ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen terhadap hukum dan keadilan. Sistem demokrasi yang kita adopsi ternyata belum mampu memberi perlindungan hukum kepada warga negara, keadilan bagi semua orang, karena masih ada diskriminasi serta rendahnya kesadaran akan pentingnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Sangat menyedihkan dan miris manakala hukum dipermainkan dan keadilan diperjualbelikan. Inilah potret dari Republik Sandal Jepit dimana rakyat mungil biasa dijepit.

Mengapa besar selalu menang?
Bebas berbuat sewenang-wenang
Mengapa kecil selalu tersingkir
Harus mengalah dan menyingkir
Apa bedanya besar dan kecil?
Semua itu hanya sebutan
Ya walau didalam kehidupan
Kenyataan harus ada besar dan kecil

Selasa, 27 Desember 2011

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA



            Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

ISLA, DI ASIA TENGGARA


Islam Politik di Asia Tenggara*)
Oleh: Scott B McDonald dan Jonathan Lemco
 
Asia Tenggara adalah tempat tinggal bagi sepertiga penduduk Muslim
terbesar di dunia. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia
dan Brunei, dan komunitas yang lebih kecil bisa ditemukan di Burma
(Myanmar), Singapura, Filipina, dan Thailand. Lokasi strategis Asia
Tenggara yang berada di antara lahan minyak kritis Timur Tengah dan Asia
Timur yang haus energi, bersamaan dengan lahirnya kelompo-kelompok Islam
radikal di Timur Tengah dan Asia Selatan selama kurun 1990-an dan foksus
mereka yang nampaknya semakin menguat pada negara-negara seperti Indonesia
dan Filipina, telah menjadikan Islam di Asia Tenggara sebagai salah isu
internasional.
 
Meskipun demikian, ada bahaya dalam menghubungkan begitu saja tradisi
Islam di Asia Tenggara dengan radikalisme Timur Tengah. Ada perbedaan
signifikan antara gerakan revivalis Islam yang melihat pada pembaruan
kultural dan spiritual yang telah menyapu Asia Tenggara belakangan ini
dengan jaringan teroris transnasional. Kelompok yang tidak memihak kedua
gerakan ekstrem ini adalah partai politik dan kelompok yang berusaha
mendapatkan otonomi yang lebih besar bagi atau pemisahan dari
wilayah-wilayah Islam yang dominan; beberapa di antaranya menggunakan
perangkat bersenjata, sementara yang lain bersifat damai dan ingin
beroperasi dalam proses politik formal. Dengan perbedaan-perbedaan yang
ada di antara organisasi-organisasi ini dan tujuan mereka, maka meletakkan
mereka dalam kategori geopolitik yang sama bisa sangat berbahaya.
 
Bagi mereka yang percaya bahwa Islam di Asia Tenggara adalah kekuatan
destruktif yang potensial menunjuk pada beragam kelompok Islam radikal,
baik yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda maupun para pelancong, yang
telah muncul di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Abu Sayyaf,
Jamaah Islamiyah (JI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dan Kelompok Militer Muslim Malaysia merupakan bahaya yang nyata dan ada
bagi kedamaian dan stabilitas di Asia Tenggara?dan juga bagi kepentingan
nasional Amerika Serikat. Tanpa tindakan yang tegas dan efektif di pihak
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, kelompok-kelompok radikal ini bisa
mendestabilisasi wilayah ini, menciptakan mata rantai rezim Islam dari
Filipina hingga Indonesia.
 
Berlawanan dengan perspektif ini adalah pandangan bahwa sebagian besar
Muslim di Asia Tenggara tidak akan mendukung Islam radikal, dan lebih
menyukai jalan yang lebih moderat. Meskipun Islam adalah faktor politik di
seluruh wilayah ini, partai-partai Islam tidak mendominasi kehidupan
politik di Indonesia maupun Malaysia ?dua negara Asia Tenggara dengan
mayoritas Muslim dan pemerintahan terpilih. Eksistensi kelompok politik
Islam radikal di Asia Tenggara tidak berarti bahwa wilayah ini ditakdirkan
untuk mengalami tingkat kekerasan yang bersumber dari Islam yang secara
periodik telah mendera Timur Tengah dan Pakistan. Meskipun demikian,
perhatian dan campur tangan Barat yang terlalu banyak justru semakin
memperdalam sentimen anti-Barat (terutama anti-Amerika) dan memberikan
fondasi dari mana kelompok radikal Islam bisa memperoleh kekuasaan.
 
Kedua perspektif ini berasal dari realitas mendasar: Islam tengah
mengalami kebangkitan regional yang secara luas bersifat sosial dan
kultural. Kebangkitan ini diiringi dengan lahirnya kelompok-kelompok
radikal yang sangat fundamentalis dalam orientasi keagamaan, anti-Amerika
dalam pandangan politik dan menganut Islam sebagai ideologi. Kelompok ini
memiliki preferensi hitam putih bagi penciptaan sebuah negara yang diatur
oleh hukum Islam (syari?ah). Meskipun mereka berada di wilayah pinggiran
dalam hal politik, sebagian dari kelompok-kelompok ini secara agresif
berusaha untuk memperluas jangkauan mereka, dan memiliki koneksi
internasional. (Ramzi Yousef, seorang figur kunci dalam pemboman WTC 1993,
memelihara basis operasi di Filipina, di mana dia ditugaskan untuk
membunuh Paus dan Presiden Bill Clinton, dan juga melakukan pemboman
sebuah jet milik Philippines Airlines). Kelompok Islam radikal ini telah
menjadikan Asia Tenggara sebagai bagian perjuangan yang lebih luas dalam
perang terhadap terorisme.
 
Islamisme di Indonesia
 
Lanskap politik di Asia Tenggara telah berubah secara signfikan sejak
akhir 1990-an, yang secara nyata memiliki efek pada Islam dan tempatnya di
negara. Krisis ekonomi yang menghantam Thailand, Indonesia, Malaysia, dan
Filipina pada akhir 1990-an menggelincirkan ?keajaiban? Asia, dengan
fokusnya pada pembangunan ekonomi. ?Abad Asia?, membentuk pertumbuhan
ekonomi yang cepat, peningkatan standar hidup, dan bobot politik dan
ekonomi yang lebih berat dalam urusan-urusan internasional, tiba-tiba
berhenti. Di seantero wilayah ini, kemiskinan meningkat, demikian juga
arus ketidakpuasan sosial terhadap pemerintah lokal.
 
Hal ini paling akut terjadi di Indonesia, di mana rezim penguasa, Soeharto
dipaksa turun dari kekuasaannya pada Mei 1998 setelah demonstrasi politik
dan kerusuhan yang meluas. Koalisi yang menurunkan Soeharto terfragmentasi
menjadi sejumlah aliansi Islamis dan kelompok nasionalis sekular. Di
samping itu, hanya sebagian dari mantan elit?mereka yang secara dekat
berhubungan dengan Soeharto dan keluarganya?juga diturunkan. Banyak di
antara pialang kekuasaan pada masa lampau, seperti militer, mempertahankan
peran politik yang tetap penting.
 
Dengan melemahnya otoritas politik sentral, ketegangan etnik-agama yang
demikian panjang, diperparah dengan menurunnya ekonomi, semakin meningkat.
Di sebagian wilayah negara ini, seperti di Sulawesi dan Maluku, terjadi
pertempuran antara kelompok-kelompok Islam, Kristen dan nasionalis yang
saling berperang. Ada tuduhan bahwa kelompok Islam radikal memiliki
hubungan erat dengan elemen konservatif di kalangan elit politik, sebagian
dari mereka mau menyediakan senjata dan uang untuk mendestabilisasi
eksperimen demokrasi baru ini.
 
Kelompok Islam Indonesia menjangkau spektrum organisasi yang terbentang
dari kelompok sosial dan kultural, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama?, hingga kelompok-kelompok militan, yang sangat mungkin memiliki
hubungan transnasional, seperti Laskar Jihad. Adalah penting untuk
menegaskan bahwa mayoritas komunitas Muslim Indonesia belum termobilisasi
oleh Islam politik. Selama pemilihan umum 1999, hanya 16 persen pemilih
yang memilih partai-partai yang menyerukan Islam konservatif. Lebih dari
itu, kelompok Islam yang lebih radikal di Indonesia adalah kelompok
pinggiran dalam mainstream Islam di Indonesia, yang masih selalu
berkomitmen pada toleransi.
 
Sejumlah partai Islam di Indonesia dipertentangkan dengan
kelompok-kelompok militan. Di antara lima partai Islam (pada pemilu tahun
1999, ed) menduduki seperempat kursi di parlemen dan memainkan peran
penting dalam politik nasional. Semuanya berkomitmen untuk mengakui
kekuatan-kekuatan masyarakat yang beroperasi di negara ?beberapa di
antaranya Islam, dan yang lain lagi tidak?dan perwakilan dari semua
kepentingan yang sah. Tentu saja, di luar lima partai ini ada partai Islam
lainnya?sebagian besar tidak memiliki wakil di parlemen?yang memiliki
platform menyerukan negara Islam dan kebijakan-kebijakan yang antagonistik
pada komunitas agama lain dan kepada Barat.
 
Kalangan Islamis di Indonesia umumnya adalah sekumpulan kelompok-kelompok
kecil. Mereka sama-sama menggunakan interpretasi literal atas Islam dan
mengklaim bahwa kaum Muslimin seharusnya hanya mempraktikkan Islam ?murni?
seperti yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Pandangan ini
diperkuat dengan penganutan konsep jihad sebagai ?perang suci? melawan
musuh Islam yang dipersepsikan dan bukan persepsi yang lebih mainstream
tentang jihad yang berarti ?berusaha dengan sekuat tenaga? dalam
aktivitas-aktivitas kaum Muslimin. Sementara sejumlah kelompok yang
terjebak pada camp radikal telah ada sebelum rezim Soeharto jatuh, banyak
kelompok-kelompok baru yang kemudian muncul?beberapa di antaranya dibentuk
karena adanya kharisma individu, sementara yang lain memiliki hubungan
dengan elemen-elemen angkatan bersenjata (populasi Yaman Indonesia yang
kecil tapi secara historis sangat berpengaruh juga diyakini terlibat dalam
mengobarkan sikap Islam radikal).
 
Dua kelompok radikal utama di Indonesia adalah Laskar Jihad dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Dua organisasi ini merupakan kelanjutan dari
tradisi politik dan keagamaan radikal yang dulunya sudah pernah beroperasi
di kalangan masyarakat Indonesia pinggiran; jatuhnya pemerintahan Soeharto
dan melemahnya otoritas sentral membantu mereka mendapatkan pengikut yang
lebih luas dan perhatian lebih dari pers Barat yang memang mencari cerita
tentang ekstremisme Islam. MMI didirikan pada tahun 2000 oleh Abu Bakar
Ba?asyir, yang selama tahun 1970-an dipenjarakan akibat perlawanannya pada
Soeharto. Dia akhirnya mengungsi ke Malaysia, di mana dia diperkirakan
mengembangkan hubungan dengan Kelompok Militer Muslim Malaysia (KMM), yang
juga menentang pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Muhammad dan
berkeinginan mendirikan rezim Islam fundamentalis di negara itu. Ba?asyir
kembali ke Indonesia setelah Soeharto tumbang dan diduga menjadi salah
satu kekuatan kunci di belakang Jama?ah Islamiyah, sebuah kelompok Islamis
yang berbasis regional.
 
Laskar Jihad berfungsi sebagai organisasi sosial-keagamaan dan sebagai
kelompok militan. Pada awalnya adalah sebuah organisasi keagamaan
konservatif yang didirikan oleh Ja?far Umar Thalib, ia menjadi kekuatan
militan yang berusaha mendirikan sebuah negara Islam melalui sarana
kekerasan. Dikenal dengan ceramah-ceramahnya yang berapi-api, Thalib
memberikan kencenderungan anti-Amerika kepada organisasi ini, sambil tetap
menekankan kebutuhan untuk membersihkan Islam dan Indonesia dari
pengaruh-pengaruh yang tidak Islami. Sejalan dengan hal terakhir ini,
Laskar Jihad menjadi kekuatan aktif dalam menyulut peperangan dengan
komunitas Kristen Indonesia, khususnya di Maluku. Thalib dicurigai
memiliki hubungan dengan kelompok Islam radikal yang berbasis di Malaysia
dan diyakini menerima dana dari Libya dan Saudi Arabia. Ada juga diskusi
menarik tentang kemungkinan hubungannya dengan al-Qaeda. Laskar Jihad
menolak semua anggapan ini.
 
 
Abu Sayyaf
 
Kelompok Islam revivalis di Filipina mengambil jalan lain. Tidak pernah
mendapatkan keuntungan dari keajaiban ekonomi Asia, kelompok ini mengalami
friksi yang sangat lama antara mayoritas Kristen dan minoritas Muslim.
Kelompok Islam Filipina yang telah meraih popularitas paling besar karena
militansinya adalah Abu Sayyaf (Pembawa Pedang), yang berakar pada
perjuangan panjang negara itu antara Kristen dan Muslim. Abu Sayyaf
didirikan pada tahun 1991, di bawah kepemimpinan Abdurajak Abubakar
Janjalani, yang belajar di Saudi Arabia dan Libya. Dia juga dilatih
sebagai mujahidin di Pakistan dan berperang melawan Soviet di Afghanistan
selama kurun waktu 1980-an. Di suatu tempat dalam perjalanannya, Janjalani
diduga telah bertemu dengan Osama bin Laden. Pada tahun 1990 dia kembali
ke Filipina dan mendirikan Abu Sayyaf dari jajaran anggota Moro National
Liberation Front (MNLF) yang mengalami kekecewaan, sebuah kelompok Muslim
gerilya yang telah menyulut perang terhadap pemerintahan Filipina di
bagian tenggara negara ini pada tahun 1970-an dan 1980-an. Seperti MNLF
awal, tujuan utama kelompok Abu Sayyaf adalah mendirikan negara Islam
independen di luar kepulauan Filipina tenggara. Abu Sayyaf diduga dibiayai
oleh al-Qaeda pada awal 1990-an, dan saudara ipar bin Laden, Jamal
Khalifa, diduga telah bertemu dengan kelompok ini. Di samping itu, Abu
Sayyaf juga kemungkinan memiliki hubungan dengan Ramzi Yousef.
 
Meskipun Abu Sayyaf aktif selama era 1990-an, menjalankan pemboman skala
kecil dan operasi penculikan, ia tidak mendapatkan perhatian internasional
hingga Maret 2000, ketika kelompok ini menculik 58 anak sekolah di
kepulauan Basilan. Menjelang Janjalani meninggal (dia terbunuh dalam
sebuah baku tembak dengan tentara pemerintah pada tahun 1998), saudaranya,
Khadafi Janjalani menjadi komandan kelompok ini. Pada tahun yang sama,
Episode Basilan diikuti dengan penculikan 21 sandera, termasuk 10 turis
asing. Sandera ini dibebaskan ketika Libya membayar $ 20 juta sebagai
tebusan.  Meskipun hal ini mengakhiri situasi penyanderaan, uang tebusan
itu justru menarik ratusan pendukung baru Abu Sayyaf dan memungkinkan
mereka untuk membeli senjata baru. Abu Sayyaf beraksi lagi pada Mei 2001,
saat itu menculik 17 warga Filipina dan 3 orang Amerika, satu di antaranya
belakangan dipenggal kepalanya.
 
Setelah 11 September 2001, Abu Sayyaf menjadi target Amerika Serikat, yang
mengirim 600 tentara ke Filipina untuk membantu melatih tentara lokal
dalam menangani keadaan darurat. (Amerika Serikat memberikan bantuan
militer kepada Presiden Arroyo sebanyak $ 100 juta ?bantuan finansial
pertama sejak rakyat Filipina meminta untuk menutup markas militer Amerika
pada awal 1990-an). Pemerintahan Arroyo menjadikan pemberantasan Abu
Sayyaf sebagai prakarsa utama. Gabungan tentara Filipina dan dukungan
logistik Amerika Serikat menjadikan Abu Sayyaf berada di bawah tekanan
serius. Serangkaian pertempuran kecil mengurangi jumlah anggota kelompok
ini, dan pada Juni, Abu Sabaya, seorang pemimpin senior dan juru bicara
Abu Sayyaf, terbunuh. Menjelang akhir 2002, jajaran Abu Sayyaf telah
dihabiskan dan basis dukungannya juga sepenuhnya dihancurkan.
 
Islamis Transnasional Asia Tenggara
 
Dengan jaringan yang melintasi Malaysia, Singapura, dan Indonesia, Jamaah
Islamiyah telah lahir sebagai kelompok radikal Islam transnasional paling
luas di Asia Tenggara. Tujuannya adalah untuk menciptakan negara Islam
yang menyatukan kaum Muslimin di Thailand, Malaysia, Indonesia, dan
Filipina Selatan. Sementara keanggotaan Abu Sayyaf dan Laskar Jihad
cenderung untuk memasukkan mereka yang berasal dari sektor ekonomi tingkat
bawah, JI merekrut anggotanya dari kelompok terdidik kelas menengah
Indonesia, Malaysia dan Singapura. Didirikan oleh dua orang Indonesia pada
era 1990-an, Abdullah Ahmad Sungkar dan Abu Bakar Ba?syir (pemimpin MMI),
JI merambah menjadi lahan pertemuan bagi Islamis radikal di wilayah ini.
Agen-agen Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas serangkaian perampokan
bank, penyerangan, dan pemboman dengan target masyarakat sipil. Pada bulan
Januari 2002, salah satu tokoh operasional kunci JI, Fathur Rahman
al-Ghozi, warga negara Indonesia, ditangkap di Filipina (dan belakangan
juga terbunuh di tangah tentara Filipina, ed) dan bertanggung jawab atas
peledakan bom di Manila pada bulan Desember 2000 yang menewaskan 22 orang.
 
Pada bulan Desember 2001, otoritas Singapura menahan 13 anggota Jamaah
Islamiyah yang berencana meledakkan bom mobil bunuh diri di kedutaan besar
Amerika Serikat di Singapura, Kuala Lumpur dan Jakarta, juga 6 target
lainnya yang berasal dari pejabat tinggi Singapura. Pada bulan September
2002, anggota JI ditangkap oleh angkatan bersenjata Singapura karena
merencanakan pemboman bandar udara, kementrian pertahanan, dan saluran air
di negara itu yang diharapkan bisa menyalakan perang suci di Asia
Tenggara. Sebagian besar anggota JI adalah warga negara Singapura. JI juga
merencanakan membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri, melakukan pemboman
di Indonesia dan Filipina dan menyediakan dukungan logistik bagi al-Qaeda
(JI pada mulanya memiliki link dengan al-Qaeda).
 
Eksistensi JI dan operasinya di Singapura menghadirkan tantangan nyata
bagi pemerintahan negara ini. Hampir 77 persen warga Singapura adalah
China, dengan minoritas suku Melayu (14 persen dari seluruh total
penduduk). Kelompok agama terbesar adalah Budha, dengan Muslim yang
membentuk kira-kira 25 persen dari total penduduk. Dikelilingi oleh negara
Muslim terbesar, Malaysia dan Indonesia, Singapura selalu sensitif dalam
mengelola hubungan etnis dan agamanya. Meskipun pemerintah memiliki
reputasi yang sangat baik dalam memerintah, Singapura adalah sebuah
masyarakat yang kaya, yang berfungsi sebagai transportasi utama dan
offshore-finance hub bagi Asia Tenggara. Secara tradisional, sangatlah
mudah keluar dan masuk Singapura.
 
Semua faktor ini menarik JI ke Singapura. Dari negara kota ini, ia dapat
bergerak ke seluruh wilayah, membangun dan mempertahkan jaringan
finansial, dan menikmati markas operasi yang sangat nyaman. Pada saat yang
bersamaan, jika JI bisa menciptakan ketegangan antara Muslim dan non
Muslim di Singapura, ia bisa saja menyulut sentimen anti China di
Indonesia dan Malaysia, yang bisa dieksploitasinya untuk memperluas mimpi
regional mereka akan sebuah negara Islam Asia Tenggara yang bersatu.
 
Equilibrium Baru
 
Lahirnya Islam politik menghadirkan tantangan bagi pemerintah di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Sementara ide tentang pembaharuan masyarakat atau
pendirian basis moral yang lebih kuat bagi masyarakat?banyak di antaranya
yang dinodai dengan korupsi pemerintah?adalah perkembangan yang positif,
Islam radikal tidak. Dalam wilayah ini, tantangan pembangunan yang sulit
dan sistem politik yang seringkali kaku menyulut bertambahnya jajaran
ketidakpuasan di kalangan anak muda, pekerja, dan intelektual. Di luar
wilayah ini, al-Qaeda telah membantu mengibarkan bendera internasional
perang terhadap pengaruh buruk Barat dan wilayah-wilayah sekutunya.
 
Kombinasi dari kekuatan domestik dan eksternal, telah menjadikan Asia
Tenggara sebagai medan kedua bagi perang Amerika terhadap terorisme. Ini
telah membawa fokus Washington kembali ke wilayah yang sebelumnya telah
menjadi prioritas rendah. Baik pemerintah lokal maupun Washington perlu
secara hati-hati bertindak dalam menghadapi Islam radikal, menggunakan
perangkat ekonomi dan militer untuk berhadapan dengan persoalan ini.
Kegagalan mengurangi kemiskinan dan kondisi-kondisi lainnya yang membantu
terciptanya kekuatan radikal dalam politik maupun agama tidak akan
mengeliminasi Islamis. Dan kegagalan menggunakan kekuatan militer secara
selektif dan bijaksana akan semakin menguatkan para pejuang di bidang ini.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana menemukan sebuah keseimbangan baru
di dunia pasca 11 September yang memungkinkan peran non kekerasan bagi
Islam.
http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Islam-Politik-di-Asia-Tenggara