Selasa, 27 Desember 2011

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA



            Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

ISLA, DI ASIA TENGGARA


Islam Politik di Asia Tenggara*)
Oleh: Scott B McDonald dan Jonathan Lemco
 
Asia Tenggara adalah tempat tinggal bagi sepertiga penduduk Muslim
terbesar di dunia. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia
dan Brunei, dan komunitas yang lebih kecil bisa ditemukan di Burma
(Myanmar), Singapura, Filipina, dan Thailand. Lokasi strategis Asia
Tenggara yang berada di antara lahan minyak kritis Timur Tengah dan Asia
Timur yang haus energi, bersamaan dengan lahirnya kelompo-kelompok Islam
radikal di Timur Tengah dan Asia Selatan selama kurun 1990-an dan foksus
mereka yang nampaknya semakin menguat pada negara-negara seperti Indonesia
dan Filipina, telah menjadikan Islam di Asia Tenggara sebagai salah isu
internasional.
 
Meskipun demikian, ada bahaya dalam menghubungkan begitu saja tradisi
Islam di Asia Tenggara dengan radikalisme Timur Tengah. Ada perbedaan
signifikan antara gerakan revivalis Islam yang melihat pada pembaruan
kultural dan spiritual yang telah menyapu Asia Tenggara belakangan ini
dengan jaringan teroris transnasional. Kelompok yang tidak memihak kedua
gerakan ekstrem ini adalah partai politik dan kelompok yang berusaha
mendapatkan otonomi yang lebih besar bagi atau pemisahan dari
wilayah-wilayah Islam yang dominan; beberapa di antaranya menggunakan
perangkat bersenjata, sementara yang lain bersifat damai dan ingin
beroperasi dalam proses politik formal. Dengan perbedaan-perbedaan yang
ada di antara organisasi-organisasi ini dan tujuan mereka, maka meletakkan
mereka dalam kategori geopolitik yang sama bisa sangat berbahaya.
 
Bagi mereka yang percaya bahwa Islam di Asia Tenggara adalah kekuatan
destruktif yang potensial menunjuk pada beragam kelompok Islam radikal,
baik yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda maupun para pelancong, yang
telah muncul di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Abu Sayyaf,
Jamaah Islamiyah (JI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dan Kelompok Militer Muslim Malaysia merupakan bahaya yang nyata dan ada
bagi kedamaian dan stabilitas di Asia Tenggara?dan juga bagi kepentingan
nasional Amerika Serikat. Tanpa tindakan yang tegas dan efektif di pihak
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, kelompok-kelompok radikal ini bisa
mendestabilisasi wilayah ini, menciptakan mata rantai rezim Islam dari
Filipina hingga Indonesia.
 
Berlawanan dengan perspektif ini adalah pandangan bahwa sebagian besar
Muslim di Asia Tenggara tidak akan mendukung Islam radikal, dan lebih
menyukai jalan yang lebih moderat. Meskipun Islam adalah faktor politik di
seluruh wilayah ini, partai-partai Islam tidak mendominasi kehidupan
politik di Indonesia maupun Malaysia ?dua negara Asia Tenggara dengan
mayoritas Muslim dan pemerintahan terpilih. Eksistensi kelompok politik
Islam radikal di Asia Tenggara tidak berarti bahwa wilayah ini ditakdirkan
untuk mengalami tingkat kekerasan yang bersumber dari Islam yang secara
periodik telah mendera Timur Tengah dan Pakistan. Meskipun demikian,
perhatian dan campur tangan Barat yang terlalu banyak justru semakin
memperdalam sentimen anti-Barat (terutama anti-Amerika) dan memberikan
fondasi dari mana kelompok radikal Islam bisa memperoleh kekuasaan.
 
Kedua perspektif ini berasal dari realitas mendasar: Islam tengah
mengalami kebangkitan regional yang secara luas bersifat sosial dan
kultural. Kebangkitan ini diiringi dengan lahirnya kelompok-kelompok
radikal yang sangat fundamentalis dalam orientasi keagamaan, anti-Amerika
dalam pandangan politik dan menganut Islam sebagai ideologi. Kelompok ini
memiliki preferensi hitam putih bagi penciptaan sebuah negara yang diatur
oleh hukum Islam (syari?ah). Meskipun mereka berada di wilayah pinggiran
dalam hal politik, sebagian dari kelompok-kelompok ini secara agresif
berusaha untuk memperluas jangkauan mereka, dan memiliki koneksi
internasional. (Ramzi Yousef, seorang figur kunci dalam pemboman WTC 1993,
memelihara basis operasi di Filipina, di mana dia ditugaskan untuk
membunuh Paus dan Presiden Bill Clinton, dan juga melakukan pemboman
sebuah jet milik Philippines Airlines). Kelompok Islam radikal ini telah
menjadikan Asia Tenggara sebagai bagian perjuangan yang lebih luas dalam
perang terhadap terorisme.
 
Islamisme di Indonesia
 
Lanskap politik di Asia Tenggara telah berubah secara signfikan sejak
akhir 1990-an, yang secara nyata memiliki efek pada Islam dan tempatnya di
negara. Krisis ekonomi yang menghantam Thailand, Indonesia, Malaysia, dan
Filipina pada akhir 1990-an menggelincirkan ?keajaiban? Asia, dengan
fokusnya pada pembangunan ekonomi. ?Abad Asia?, membentuk pertumbuhan
ekonomi yang cepat, peningkatan standar hidup, dan bobot politik dan
ekonomi yang lebih berat dalam urusan-urusan internasional, tiba-tiba
berhenti. Di seantero wilayah ini, kemiskinan meningkat, demikian juga
arus ketidakpuasan sosial terhadap pemerintah lokal.
 
Hal ini paling akut terjadi di Indonesia, di mana rezim penguasa, Soeharto
dipaksa turun dari kekuasaannya pada Mei 1998 setelah demonstrasi politik
dan kerusuhan yang meluas. Koalisi yang menurunkan Soeharto terfragmentasi
menjadi sejumlah aliansi Islamis dan kelompok nasionalis sekular. Di
samping itu, hanya sebagian dari mantan elit?mereka yang secara dekat
berhubungan dengan Soeharto dan keluarganya?juga diturunkan. Banyak di
antara pialang kekuasaan pada masa lampau, seperti militer, mempertahankan
peran politik yang tetap penting.
 
Dengan melemahnya otoritas politik sentral, ketegangan etnik-agama yang
demikian panjang, diperparah dengan menurunnya ekonomi, semakin meningkat.
Di sebagian wilayah negara ini, seperti di Sulawesi dan Maluku, terjadi
pertempuran antara kelompok-kelompok Islam, Kristen dan nasionalis yang
saling berperang. Ada tuduhan bahwa kelompok Islam radikal memiliki
hubungan erat dengan elemen konservatif di kalangan elit politik, sebagian
dari mereka mau menyediakan senjata dan uang untuk mendestabilisasi
eksperimen demokrasi baru ini.
 
Kelompok Islam Indonesia menjangkau spektrum organisasi yang terbentang
dari kelompok sosial dan kultural, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama?, hingga kelompok-kelompok militan, yang sangat mungkin memiliki
hubungan transnasional, seperti Laskar Jihad. Adalah penting untuk
menegaskan bahwa mayoritas komunitas Muslim Indonesia belum termobilisasi
oleh Islam politik. Selama pemilihan umum 1999, hanya 16 persen pemilih
yang memilih partai-partai yang menyerukan Islam konservatif. Lebih dari
itu, kelompok Islam yang lebih radikal di Indonesia adalah kelompok
pinggiran dalam mainstream Islam di Indonesia, yang masih selalu
berkomitmen pada toleransi.
 
Sejumlah partai Islam di Indonesia dipertentangkan dengan
kelompok-kelompok militan. Di antara lima partai Islam (pada pemilu tahun
1999, ed) menduduki seperempat kursi di parlemen dan memainkan peran
penting dalam politik nasional. Semuanya berkomitmen untuk mengakui
kekuatan-kekuatan masyarakat yang beroperasi di negara ?beberapa di
antaranya Islam, dan yang lain lagi tidak?dan perwakilan dari semua
kepentingan yang sah. Tentu saja, di luar lima partai ini ada partai Islam
lainnya?sebagian besar tidak memiliki wakil di parlemen?yang memiliki
platform menyerukan negara Islam dan kebijakan-kebijakan yang antagonistik
pada komunitas agama lain dan kepada Barat.
 
Kalangan Islamis di Indonesia umumnya adalah sekumpulan kelompok-kelompok
kecil. Mereka sama-sama menggunakan interpretasi literal atas Islam dan
mengklaim bahwa kaum Muslimin seharusnya hanya mempraktikkan Islam ?murni?
seperti yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Pandangan ini
diperkuat dengan penganutan konsep jihad sebagai ?perang suci? melawan
musuh Islam yang dipersepsikan dan bukan persepsi yang lebih mainstream
tentang jihad yang berarti ?berusaha dengan sekuat tenaga? dalam
aktivitas-aktivitas kaum Muslimin. Sementara sejumlah kelompok yang
terjebak pada camp radikal telah ada sebelum rezim Soeharto jatuh, banyak
kelompok-kelompok baru yang kemudian muncul?beberapa di antaranya dibentuk
karena adanya kharisma individu, sementara yang lain memiliki hubungan
dengan elemen-elemen angkatan bersenjata (populasi Yaman Indonesia yang
kecil tapi secara historis sangat berpengaruh juga diyakini terlibat dalam
mengobarkan sikap Islam radikal).
 
Dua kelompok radikal utama di Indonesia adalah Laskar Jihad dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Dua organisasi ini merupakan kelanjutan dari
tradisi politik dan keagamaan radikal yang dulunya sudah pernah beroperasi
di kalangan masyarakat Indonesia pinggiran; jatuhnya pemerintahan Soeharto
dan melemahnya otoritas sentral membantu mereka mendapatkan pengikut yang
lebih luas dan perhatian lebih dari pers Barat yang memang mencari cerita
tentang ekstremisme Islam. MMI didirikan pada tahun 2000 oleh Abu Bakar
Ba?asyir, yang selama tahun 1970-an dipenjarakan akibat perlawanannya pada
Soeharto. Dia akhirnya mengungsi ke Malaysia, di mana dia diperkirakan
mengembangkan hubungan dengan Kelompok Militer Muslim Malaysia (KMM), yang
juga menentang pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Muhammad dan
berkeinginan mendirikan rezim Islam fundamentalis di negara itu. Ba?asyir
kembali ke Indonesia setelah Soeharto tumbang dan diduga menjadi salah
satu kekuatan kunci di belakang Jama?ah Islamiyah, sebuah kelompok Islamis
yang berbasis regional.
 
Laskar Jihad berfungsi sebagai organisasi sosial-keagamaan dan sebagai
kelompok militan. Pada awalnya adalah sebuah organisasi keagamaan
konservatif yang didirikan oleh Ja?far Umar Thalib, ia menjadi kekuatan
militan yang berusaha mendirikan sebuah negara Islam melalui sarana
kekerasan. Dikenal dengan ceramah-ceramahnya yang berapi-api, Thalib
memberikan kencenderungan anti-Amerika kepada organisasi ini, sambil tetap
menekankan kebutuhan untuk membersihkan Islam dan Indonesia dari
pengaruh-pengaruh yang tidak Islami. Sejalan dengan hal terakhir ini,
Laskar Jihad menjadi kekuatan aktif dalam menyulut peperangan dengan
komunitas Kristen Indonesia, khususnya di Maluku. Thalib dicurigai
memiliki hubungan dengan kelompok Islam radikal yang berbasis di Malaysia
dan diyakini menerima dana dari Libya dan Saudi Arabia. Ada juga diskusi
menarik tentang kemungkinan hubungannya dengan al-Qaeda. Laskar Jihad
menolak semua anggapan ini.
 
 
Abu Sayyaf
 
Kelompok Islam revivalis di Filipina mengambil jalan lain. Tidak pernah
mendapatkan keuntungan dari keajaiban ekonomi Asia, kelompok ini mengalami
friksi yang sangat lama antara mayoritas Kristen dan minoritas Muslim.
Kelompok Islam Filipina yang telah meraih popularitas paling besar karena
militansinya adalah Abu Sayyaf (Pembawa Pedang), yang berakar pada
perjuangan panjang negara itu antara Kristen dan Muslim. Abu Sayyaf
didirikan pada tahun 1991, di bawah kepemimpinan Abdurajak Abubakar
Janjalani, yang belajar di Saudi Arabia dan Libya. Dia juga dilatih
sebagai mujahidin di Pakistan dan berperang melawan Soviet di Afghanistan
selama kurun waktu 1980-an. Di suatu tempat dalam perjalanannya, Janjalani
diduga telah bertemu dengan Osama bin Laden. Pada tahun 1990 dia kembali
ke Filipina dan mendirikan Abu Sayyaf dari jajaran anggota Moro National
Liberation Front (MNLF) yang mengalami kekecewaan, sebuah kelompok Muslim
gerilya yang telah menyulut perang terhadap pemerintahan Filipina di
bagian tenggara negara ini pada tahun 1970-an dan 1980-an. Seperti MNLF
awal, tujuan utama kelompok Abu Sayyaf adalah mendirikan negara Islam
independen di luar kepulauan Filipina tenggara. Abu Sayyaf diduga dibiayai
oleh al-Qaeda pada awal 1990-an, dan saudara ipar bin Laden, Jamal
Khalifa, diduga telah bertemu dengan kelompok ini. Di samping itu, Abu
Sayyaf juga kemungkinan memiliki hubungan dengan Ramzi Yousef.
 
Meskipun Abu Sayyaf aktif selama era 1990-an, menjalankan pemboman skala
kecil dan operasi penculikan, ia tidak mendapatkan perhatian internasional
hingga Maret 2000, ketika kelompok ini menculik 58 anak sekolah di
kepulauan Basilan. Menjelang Janjalani meninggal (dia terbunuh dalam
sebuah baku tembak dengan tentara pemerintah pada tahun 1998), saudaranya,
Khadafi Janjalani menjadi komandan kelompok ini. Pada tahun yang sama,
Episode Basilan diikuti dengan penculikan 21 sandera, termasuk 10 turis
asing. Sandera ini dibebaskan ketika Libya membayar $ 20 juta sebagai
tebusan.  Meskipun hal ini mengakhiri situasi penyanderaan, uang tebusan
itu justru menarik ratusan pendukung baru Abu Sayyaf dan memungkinkan
mereka untuk membeli senjata baru. Abu Sayyaf beraksi lagi pada Mei 2001,
saat itu menculik 17 warga Filipina dan 3 orang Amerika, satu di antaranya
belakangan dipenggal kepalanya.
 
Setelah 11 September 2001, Abu Sayyaf menjadi target Amerika Serikat, yang
mengirim 600 tentara ke Filipina untuk membantu melatih tentara lokal
dalam menangani keadaan darurat. (Amerika Serikat memberikan bantuan
militer kepada Presiden Arroyo sebanyak $ 100 juta ?bantuan finansial
pertama sejak rakyat Filipina meminta untuk menutup markas militer Amerika
pada awal 1990-an). Pemerintahan Arroyo menjadikan pemberantasan Abu
Sayyaf sebagai prakarsa utama. Gabungan tentara Filipina dan dukungan
logistik Amerika Serikat menjadikan Abu Sayyaf berada di bawah tekanan
serius. Serangkaian pertempuran kecil mengurangi jumlah anggota kelompok
ini, dan pada Juni, Abu Sabaya, seorang pemimpin senior dan juru bicara
Abu Sayyaf, terbunuh. Menjelang akhir 2002, jajaran Abu Sayyaf telah
dihabiskan dan basis dukungannya juga sepenuhnya dihancurkan.
 
Islamis Transnasional Asia Tenggara
 
Dengan jaringan yang melintasi Malaysia, Singapura, dan Indonesia, Jamaah
Islamiyah telah lahir sebagai kelompok radikal Islam transnasional paling
luas di Asia Tenggara. Tujuannya adalah untuk menciptakan negara Islam
yang menyatukan kaum Muslimin di Thailand, Malaysia, Indonesia, dan
Filipina Selatan. Sementara keanggotaan Abu Sayyaf dan Laskar Jihad
cenderung untuk memasukkan mereka yang berasal dari sektor ekonomi tingkat
bawah, JI merekrut anggotanya dari kelompok terdidik kelas menengah
Indonesia, Malaysia dan Singapura. Didirikan oleh dua orang Indonesia pada
era 1990-an, Abdullah Ahmad Sungkar dan Abu Bakar Ba?syir (pemimpin MMI),
JI merambah menjadi lahan pertemuan bagi Islamis radikal di wilayah ini.
Agen-agen Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas serangkaian perampokan
bank, penyerangan, dan pemboman dengan target masyarakat sipil. Pada bulan
Januari 2002, salah satu tokoh operasional kunci JI, Fathur Rahman
al-Ghozi, warga negara Indonesia, ditangkap di Filipina (dan belakangan
juga terbunuh di tangah tentara Filipina, ed) dan bertanggung jawab atas
peledakan bom di Manila pada bulan Desember 2000 yang menewaskan 22 orang.
 
Pada bulan Desember 2001, otoritas Singapura menahan 13 anggota Jamaah
Islamiyah yang berencana meledakkan bom mobil bunuh diri di kedutaan besar
Amerika Serikat di Singapura, Kuala Lumpur dan Jakarta, juga 6 target
lainnya yang berasal dari pejabat tinggi Singapura. Pada bulan September
2002, anggota JI ditangkap oleh angkatan bersenjata Singapura karena
merencanakan pemboman bandar udara, kementrian pertahanan, dan saluran air
di negara itu yang diharapkan bisa menyalakan perang suci di Asia
Tenggara. Sebagian besar anggota JI adalah warga negara Singapura. JI juga
merencanakan membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri, melakukan pemboman
di Indonesia dan Filipina dan menyediakan dukungan logistik bagi al-Qaeda
(JI pada mulanya memiliki link dengan al-Qaeda).
 
Eksistensi JI dan operasinya di Singapura menghadirkan tantangan nyata
bagi pemerintahan negara ini. Hampir 77 persen warga Singapura adalah
China, dengan minoritas suku Melayu (14 persen dari seluruh total
penduduk). Kelompok agama terbesar adalah Budha, dengan Muslim yang
membentuk kira-kira 25 persen dari total penduduk. Dikelilingi oleh negara
Muslim terbesar, Malaysia dan Indonesia, Singapura selalu sensitif dalam
mengelola hubungan etnis dan agamanya. Meskipun pemerintah memiliki
reputasi yang sangat baik dalam memerintah, Singapura adalah sebuah
masyarakat yang kaya, yang berfungsi sebagai transportasi utama dan
offshore-finance hub bagi Asia Tenggara. Secara tradisional, sangatlah
mudah keluar dan masuk Singapura.
 
Semua faktor ini menarik JI ke Singapura. Dari negara kota ini, ia dapat
bergerak ke seluruh wilayah, membangun dan mempertahkan jaringan
finansial, dan menikmati markas operasi yang sangat nyaman. Pada saat yang
bersamaan, jika JI bisa menciptakan ketegangan antara Muslim dan non
Muslim di Singapura, ia bisa saja menyulut sentimen anti China di
Indonesia dan Malaysia, yang bisa dieksploitasinya untuk memperluas mimpi
regional mereka akan sebuah negara Islam Asia Tenggara yang bersatu.
 
Equilibrium Baru
 
Lahirnya Islam politik menghadirkan tantangan bagi pemerintah di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Sementara ide tentang pembaharuan masyarakat atau
pendirian basis moral yang lebih kuat bagi masyarakat?banyak di antaranya
yang dinodai dengan korupsi pemerintah?adalah perkembangan yang positif,
Islam radikal tidak. Dalam wilayah ini, tantangan pembangunan yang sulit
dan sistem politik yang seringkali kaku menyulut bertambahnya jajaran
ketidakpuasan di kalangan anak muda, pekerja, dan intelektual. Di luar
wilayah ini, al-Qaeda telah membantu mengibarkan bendera internasional
perang terhadap pengaruh buruk Barat dan wilayah-wilayah sekutunya.
 
Kombinasi dari kekuatan domestik dan eksternal, telah menjadikan Asia
Tenggara sebagai medan kedua bagi perang Amerika terhadap terorisme. Ini
telah membawa fokus Washington kembali ke wilayah yang sebelumnya telah
menjadi prioritas rendah. Baik pemerintah lokal maupun Washington perlu
secara hati-hati bertindak dalam menghadapi Islam radikal, menggunakan
perangkat ekonomi dan militer untuk berhadapan dengan persoalan ini.
Kegagalan mengurangi kemiskinan dan kondisi-kondisi lainnya yang membantu
terciptanya kekuatan radikal dalam politik maupun agama tidak akan
mengeliminasi Islamis. Dan kegagalan menggunakan kekuatan militer secara
selektif dan bijaksana akan semakin menguatkan para pejuang di bidang ini.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana menemukan sebuah keseimbangan baru
di dunia pasca 11 September yang memungkinkan peran non kekerasan bagi
Islam.
http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Islam-Politik-di-Asia-Tenggara

sistem kekerabatan di kampung naga


BAB I
PENDAHULUAN
            Di Jawa Barat ini terdapat banyak perkampungan adat, seperti Kampung Pulo di Garut, Kampung Dukuh di Garut dan selain-lain, hingga salah satu nya adalah Kampung Naga di Tasik. Kampung Naga ini merupakan Kampung salah satu kampong adat di Jawa Barat, yang secara administrasi terletak di Desa Neglasari, Tasikmalaya.
Dalam laporan ini saya dan teman-teman satu kelompok mencoba memaparkan hasil penelitian dari para peneliti yang meneliti mengenai keadaan baik dari segi social maupun alam dari Kampung Naga itu sendiri. Dari penulisan makalah ini digunakan sumber sumber tertulis dalam menerangkana keadaan umum Kampung Naga.  Dengan demikian kami berharap agar penulisan makalah ini dapat memberikan informasi kepada para pembaca guna mengetahui gambaran umum dari Kampung Naga sebagai salah satu kampong adat di Jawa Barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lokasi Dan Keadaan Alam Kampung Naga
Kampung Naga termasuk Rukun Tetangga (RT) 01, diantara wilayah lainnya dalam kesatuan Rukun Warga (RW) 01 yang meliputi kampung Babakan, Kampung Pawitan, Kampung Pondok Waru, Kampung Bantar Saroi, Kampung Markica, Kampung Legok Dage, Kampung Kudang, dan Kampung Neundeut. Luas dari kampung Naga itu sendiri mempunya areal tanah seluas 10,5 hektar. Secara administrasi Kampung Naga merupakan bagian wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Letak dari kampung ini tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dan Tasikmalaya. Kalau dari Tasikmalaya bisa di tempuh dalam jarak 30 km, sedangkan dari Garut dapat ditempuh dengan jarak 26 km. dan dari Jawa Barat bisa di tempuh dengan jarak 106 km setelah itu dari jalan raya ke kampung Naga harus menuruni lembah kira-kira 800 meter. Sedangkan untuk menempuh Kemapung Naga dari arah Garut harus berjalan kaki menuruni jalan kecil yang berundak-undak dan berbelok-belok dengan jumlah tangga sebanyak 360 takikan. Jalan tersebut merupakan tangga untuk menuju ketepian Sungai Ciwulan, dengan menulusuri tepian Sungai ini yang kurang lebih 200 meter maka sampailah ke Kampung Naga yang di kelilingi dengan pagar dari bambu.
Disebrang sungai Ciwulan berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan yang sangat tua umurnya. Hutan tersebut dinamakan dengan nama Leuweung Larangan yang berada di sebelah timur perkampungan, sedangkan disebelah barat terdapat Leuweung Keramat. Leuweung Larang merupakan tempat yang sama sekali dilarang untuk diinjak oleh siapapun, khususnya warga Kampung Naga itu sendiri Leuweung Larangan dibatasi oleh sungai Ciwulan, sedangkan Leweung Keramat dibatasi oleh Mesjid, ruang pertemuan, dan Bumi Ageung tempat menyimpan harta pusaka.
B.     Sejarah Kampung Naga
Darai data keterangan yang didapat riwayat kampung Naga di tulis pada lembaran tembaga, tetapi pada tahun 1950 terjadi peristiwa penabakaran yang dilakukan oleh gerombolan DII/TII yang mengakibatkan terbakarnya benda-benda pusaka oleh sebab itu data-data historis yang mengenai asal-usul kampung Naga hilang akan tetapi dapat diperkiirakan sebelum agama Islam berkembang yaitu sekitar abad XII.
Sedangkan tentang nama Kampung Naga terasebut dinamai Kampung Naga menurut pemimpin adat atau kuncen, sejak nenek moyang mereka pun tidak pernah mengetahui dari mana asal-usul  nama kampung tersebut. Ada kisah sedikit tentang kampung Naga yaitu yang menceritakan tentang kewalian Syech Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparna di beri tugas untuk menyebarlkan agama Islam ke sebelah barat yang selanjutnya tiba di Desa Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari. Di sana ia bersemedi dan mendapat petunjuk bahwa ia harus  menetap di wilayah itu yang kemudian dikenal dengan Kampung Naga. Eyang Singaparna atau Galunggung dianggap sebagai nenek moyang yang paling berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat kampung Naga. Ia dimakamkan disebelah barat kampung Naga, dan makam ini dianggap makam keramat oleh warga kampung Naga.
C.    Pola Permukiman Kampung Naga
Ada dua kategori masyarakat Kampung Naga, pertama Masyarakat adat kampung Naga yang bermukim di wilayah kampung Naga itu sendiri, dan kedua Masyarakat adat kampung naga yang tinggal diluar wilayah kampung Naga.
Masyarakat yang di katagorikan kedua itu menyebut masyarakatnya masyarakat adat sa-Naga. Yang mempunya arti mereka masih satu ikatan yang utuh dengan masyarakat Kampung Naga itu sendiri namun karena terbatasnya areal kampung Naga terpaksa mereka harus tinggal di luar wilayah kampung Naga. Dan masyarakat adat sa-Naga ini juga mempunyai leluhur atau karuhun lain.
Pemukiman warga Kampung Naga itu sangat tertata rapih rumah-rumah berbaris secara teratur dengan pola memanjang dari timur ke barat atau dari barat ke timur, barisan rumah menghadap ke arah utara atau selatan. Areal tanahnya tidak rata sehingga bergelombang-gelombang dari bawah ke atas sehingga oleh warga bagi rumahnya berada di atas disebut tonggoh sedangkan yang berada dibawah disebut lebak. Bangunan tersebut berbentuk rumah panggung, dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu, semua rumah di cat dengan warna putih semua.
Bangunan rumah di Kampung Naga sekarang berjumlah 108 buah. Dan jumlah keseluruhan bangunan yang ada di kampung Naga berjumlah 111 buah. Selain rumah terdapat tiga bangunan seperti mesjid, bumi ageing, dan bale patemon yang berukuran besar dari rumah. Dahulu pada tahun 1921 bangunan Rumah kampung Naga hanya berjumlah 7 buah, yang masing-masing rumah tidak mempunyai jendela. ;pada tahun 1950an terjadi pembakaran oleh DII/TII sehingga warga kembali mendirikan bangunan rumah dengan seragam semua sama dengan ada jendela di setiap rumahnya dan dibangun dari bahan yang sama dari bambu, sedangkan atap rumah terbuat dari ijuk dengan bentuk yang khas yang disebut julang ngapak artinya sayap burung yang sedang mengembang. Selain rumah di Kampung Naga terdapat bumi Ageung, yaitu bangunan asli yang sekarang menjadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan leluhur.
Bangunan yang berukuran besar lainnya yaitu bale patemon (balai pertemuan), bangunan ini berfungsi sebagai tempat bertemunya para penduduk atau tempat untuk acara-acara lain.  Dan bangunan besar lainnya adalah mesjid merupakan tenmpat ibadah warga Kampung Naga.
Selain bangunan besar tersebut masih ada bangunan diantaranya leuit yang digunakan oleh para petani sebagai tempat untuk menyimpan padi, bangunan ini mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan rumah. Di Kampung Naga tidak ada listri ini di karenakan bangunan-bangunan yang berada di kampung naga semuanya terbuat darii bahan yang mudah ternbakar ada juga warga yang sudah mengenal dunia luar di rumahnya sudah mempunyai televise yang menyalakannya dengan menggunakan accu.
D.    Pola Kehidupan Sosial Mayarakat Kampung Naga
Kampung Naga terbaga menjadi tiga wilayah, wilayah Leuweung Keramat (tempat nenek moyang kampung Naga di makamkan) yang ada di sebelah barat, pemukiman (tempat tinggal dan bercocok tanam) di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur.
Leuweung Karamat dan Bumi Ageung yang berada dibagian barat mesjid dengan memposisikan kearah kiblat mempunyai arti secara simbolis menunjukan adanya keseimbangan  antara ajaran islam dengan tradisi local. Dengan menghadap kiblat berarti membayangkan posisinya pada kabah melalui arah barang pusaka dan Leuweung Keramat. Sedangkan Bumi Ageung memposisikan sebagai garis kosmologis yaitu seluruh bangunan rumah berpusat pada Bumi Ageung, sedangkan Bumi Ageung juga berpusat pada Leuweung Keramat.
Terhadap waktu masyarakat Kampung Naga membuat tiga patokan aktivitas yaitu Bismillah, yang berhubungan dengan awal dan yang sacral bernilai hsatu. Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik dunia tengah bdengan nilai dua. Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar bagi masyarakat kampung naga dalam melakukan aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan menghindari dari malapetaka.
Masyarakat Kampung Naga mempunyai falsafah hidup yang menjadi patokan dalam kehidupan sehari-hari yang didapatkan dari nenek moyang mereka, seperti falsafah Embah Dalem Singaparna, “teu saba, teu banda, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter”. Artinya kita semua tidak memiliki suatu apapun kecuali Yang Maha Kuasa.
E.     Sistem Kekerabatan Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung naga terdiri dari beberapa keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak yang belum menikah setiap keluarga umunya mempunyai anak tiga. Masyarakat Kampung Naga mengaku sebagai orang Sunda atau bagian dari Suku Sunda yang berada di sekitarnya, dan system kekerabatannya pun berdasarkan system kekerabatan ohrang Sunda yaitu bilateral dan parental. Dengan system ini semua anggota keluarga mengenal seluruh anggota keluarganya dengan baik.
Dalam system kekerabatan bilateral dan parental yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdapat tujuh tingkatan baik ke atas maupun ke bawah seperti berikut.
Generasi ke atas :
1.      Kolot (Sepuh),
2.      Embah, (Uyut),
3.      Buyut,
4.      Bao,
5.      Jangga Wareng,
6.      Udeg-udeg,
7.      Kait Siwur.
Generasi ke bawah:
1.      Anak,
2.      Incu (putu),
3.      Buyut,
4.      Bao,
5.      Jangga Wareng,
6.      Udeg-udeg,
7.      Kait Siwur (Gantung Siwur).
Akan tetapi seiring perkembangan jumlah penduduk, dari generasi ke generasi maka generasi ke lima sampai ke tujuh (Jangga Siwur) dari generasi ke atas hanya tinggal nama saja di karenakan orangnya sudah meninggal. Adapun generasi ke bawahnya belum sampai.
F.     Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Naga
Mata pencaharian kampung Naga disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan sekitarnya. Adapun sebagian besar mata pencahariannya adalah petani yang sebagaian besar hasilnya di konsumsi sendiri. Pengelolaan pertanian dilakukan secara Tradisonal, yaitu dengan cangkul, waluku bajak yang ditarik kerbau, landak yaitualat untuk membersihkan rumput diantara padi.
 Dalam hal bertani masyarakat Kampung Naga telah memiliki system pengetahuan sendiri terutama dalam memahami alam sekitar seperti iklim pergantian musim penghujan dan kemarau. System pengetahuan tersebut mereka pelajari dari pranatamangsa, atau kampung Naga lebih mengenal dengan sebutan tunuk, yaitu alat atau pedoman perhitungan bulan atau tahun menurut jalannya matahari. Selain itu mengetahui pula peredaran bintang dilangit yang terpenting adalah bintang waluku yang dipergunakan untuk patokan untuk melakukan aktifitas menanam padi awal permualaannya menanam.
Untuk mendapatkan penghasilan lainnya ada yang membukka perikanan seperti memelihara ikan, dan bagi mereka yang kreatif ada yang memanfaatkan hasil dari kerajinana tangan seperti membuat anyaman yang berbahan dasar dari bambu sepelrti membuat boboko, ayakan, dudukuy, nyiru dan lain-lain.
G.    Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Kampjung Naga merupakan masyarakat yang masih kepercayaan adat istiadat leluhurnya, dan mereka pun mengaku sebagai seorang muslim beragama islam dan menjalankan kewajiban sebagai orang muslim akan tetapi mereka menjalankan syariat Islam itu aga berbeda seperti orang Islam lainnya perbedaanya adalah dalam sholat lima waktuyang dikerjakan oleh Masyarakat kampung Naga hanya pada hari Jumat saja sedangkan pada hari-hari biasa mereka tidak mengerjakan sholat semua itu adalah menurut Nenek Moyang Kampjung Naga. Demikian pula dengan masalah rukun Islam yang ke 5 itu ibadah haji, menurut kepercayaan mereka ibadah haji tidak perlu dilakukan jauh-jauh ke Mekkah, tetapi bisa dilakukan dengan cukup menjalankan upacara sasih yang waktu diselenggarakannya bertepatan dengan hari raya haji yaitu tanggal 10 Rayagung.
Masayarakat kampung Naga mempunyai waktu-waktu tertentu untuk memuliakan bulan, mengadakan perayaan dan selamatan pada hari dan tanggal yang telah ditentukan baik secara adat dan kebiasaan yang berlaku. Bulan Syafar dan Ramadhan merupakan bulan larangan bagi Masyarakat Kampung Naga untuk tidak membivcarakan masalah yang berkaitan dengan adat karuhun, dan tidak boleh melakukan perkerjaan yang besar seperti membuat rumah dan kenduri. Dan waktu yang dianggap baik untuk membuat kenduri atau rumah yaitu Bulan Rayagung. Bulan Maulud biasanya digunakan untuk upacara membersihkan barang pusaka, atau memperbaiki pagar pembatas kampung. Hari pantangan bagi masyarakat kampung Naga yaitu hari Selasa, rabu dan Sabtu.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil Laporan kami yang sudah dipaparkan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Masyarakat Kampung Naga Itu penganut agama Islam di samping masyarakat Muslim tradisi adat istiadat nenek moyang masih menjadi patokan yang sangat di hormati dan di anggap tabu jika dilanggarnya dan mungkin akan membawa kerugian bagi orang yang melanggarnya juga masyarakat Kampung Naga itu sendiri.
Dalam system kekerabatan juga Masyarakat Kampung Naga sangat lah kuat kekerabatannya karena masyarakat Kampung Naga menggunakan system Bilateral dan Palental yang dimana mengenal semua anggota keluarga dari atas sampai ke bawah atau dari bawah ke atsa.
System mata pencaharian masyarakat Kampung Naga kebanyakan petani yang hasilnya di konsumsi sendiri dan tambahan lainnya dikarenakan lahan di Kampung Naga terbatas ada sebagian warga yang menjalankan usaha memelihara ikan diluar kampung Naga, dan ada juga yang kreatif membuat kerajinan tangan dari bahan bambu.
DAFTAR REFERENSI
Yanti Nisfiayanti. Pola Pengasuhan Anak Pada Masyarakat Kampung Naga Di Kabupaten Tasikmalaya. DepBudPar Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Bandung. 2005/2006.
Drs. Tjetjep Rosmana. Peran Pemimpin Informal Pada Masyarakat Kampung Naga. DepBudPar Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional bandung 2005