Kamis, 22 Desember 2011

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA


BAB I
PENDAHULUAN
a, Latar Belakang

Nusantara  dalam keadaan pra-Islam banyak mengintrgrasikan sistem kepercyaaannya Monoteisme, dimana Dewa bersifat sakral yang menganggap titisan Tuhanya, pada waktu Hindu-Budha dalam kepemerintahan nya kebanyakan bersifat kasta-kasta dari yang kecil sampai dewa tertinggi.
 Dari Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak lepas dari perkembangan Islamisai di Nusantara yang di latar belakangi dengan adanya factor-faktor yang berperan penting dalam proses Islamisasi sehingga melahirkan lah sebuah kekuatan politik yang sangat besar sehingga munculnya kerajaan-kerajaan Islam hal ini karena berkat dari proses Islamisasi seperti pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, adanya komunitas-komunitas Islam di beberpa daerah kepulauan Indonesia. Serta adanya bukti-bukti peninggalan seperti makam-makam Islam, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah Kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Nusantara dalam pembahasan selanjutnya.                                
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kondisi Sosial Politik Sebelum Datangnya Islam di Nusantara
a.  Kondisi sosial budaya
Sebelum ditemukannya mesin yang menggerakkan kapal laut, pelayaran kapal-kapal lebih ditentukan oleh arus angin. Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim (angin muson), memberikan kemungkinan pengembangan jalan pelayaran Barat-Timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim timur sangat menentukan munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak aman Sriwijaya sampai akhir Majapahit.
Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan.
Masyarakat di kota pelabuhan merupakan masyarakat yang urban dan kosmopolit. Terciptalah suatu tatanan masyarakat kota. Interaksi tidak hanya terbatas pada pertukaran barang-barang ekonomi, akan tetapi terjadi pula interaksi budaya antarkelompok masyarakat. Dengan demikian, kehidupan masyarakat di kota pelabuhan akan menciptakan suatu masyarakat yang terbuka.
Dalam masyarakat yang seperti ini, akan memudahkan masuknya unsur budaya dari luar. Apabila unsur budaya itu mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang mapan, maka akan menjelma menjadi suatu peradaban. Sebelum kedatangan Islam di wilayah Nusantara, peradaban yang pernah muncul dan mampu membangun suatu struktur masyarakat yang mapan yaitu Hindu-Buddha. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang dibentuk dalam peradaban ini adalah masyarakat yang memiliki struktur hierarkis. Dalam masyarakat seperti ini, terdapat lapisan-lapisan sosial yang sangat ketat. Masyarakat terbagi atas kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antarindividu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri. Sebagai contoh seorang kasta Ksatria tidak bisa menikah dengan seseorang yang berasal dari Kasta Waisya. Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dan jagad raya bagaikan hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet. Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berakibat kehancuran. Terjadinya kesejahteraan atau kehancuran tergantung pada dapat tidaknya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terutama sekali negara, berhasil menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk kecil.
Penguasa makrokosmos adalah Dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja, sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi. Kedudukan raja dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari dewa atau sebagai keturunan, atau sebagai kedua-duanya, baik sebagai penitisan maupun keturunan dewa.
Raja memiliki kedudukan yang sangat sentral. Hubungan antara raja dengan rakyat membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula dan gusti. Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya. Pemikiran konsep ini tidak memungkinkan adanya suatu bentuk perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-kewajiban timbale balik antara atasan dan bawahan[1].
b. Kondisi politik dan ekonomi
Pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, Sriwijaya mengalami masa kejayaan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Kejayaan yang dialami Sriwijaya sangat ditentukan oleh letak dari kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Sriwijaya merupakan bagian dari jalur perdagangan internasional. Sebagai pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat kekuasaan, Sriwijaya menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Indonesia. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatra Utara, Selat Sunda yang kesemuanya masuk lingkungan kekuasaan Sriwijaya. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dikunjungi oleh pedagang dari Parsi, Arab dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri yang dilaluinya, sedangkan pedagang Jawa membelinya dan menjual rempah-rempah.
Memasuki abad ke-13, Sriwijaya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kekayaan alamnya sudah tidak lagi menghasilkan, kalah dengan hasil kekayaan di Jawa. Untuk menanggulangi ini, Sriwijaya menerapkan bea cukai yang mahal bagi kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhannya, bahkan memaksa agar kapal-kapal asing berlabuh di pelabuhannya. Tindakan Sriwijaya ini ternyata tidak memberikan keuntungan bagi kerajaannya, justru sebaliknya.
Kapal-kapal asing mencoba menghindar untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Kemunduran Sriwijaya diperburuk lagi oleh serangan Kerajaan Singhasari dari Jawa melalui ekspedisi Pamalayu. Dengan Pamalayu, supremasi Kerajaan Singhasari dapat diletakkan di bekas daerah pengaruh Sriwijaya di Sumatra.
Setelah Singhasari berkuasa, kemudian muncul Majapahit sebagai kekuatan kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Kemunculan Majapahit ini semakin memperlemah kedudukan Sriwijaya. Majapahit pernah tampil sebagai supremasi kekuasaan di wilayah Nusantara, setelah Sriwijaya runtuh. Kejayaan Kerajaan Majapahit dialami pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada. Dengan Sumpah Palapanya, Gajah Mada melakukan perluasan wilayah.
Majapahit kemudian mengalami kemunduran yang lebih banyak disebabkan oleh adanya konflik internal. Pada tahun 1478, Majapahit mengalami keruntuhannya. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang Hinduistis merupakan masyarakat dengan struktur yang hierarkis, artinya masyarakat yang mengenal kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antar individu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri.
B.      Latar Belakang Munculnya Kerajaan Islam Di Nusantara
Sebelum Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara lahir peran seorang ulama, dan pedagang sang berperan penting yang menjadi factor dari lahirnya kerajaan:kerajaan Islam ini, maka dari itu kami berusaha untuk mempetakan latar belakang ini ke dua fase yang sebagai berikut:
a, Fase pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah).
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para penyebar islam yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya dakwah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.
Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
b.      Fase kedua, abad 13 masehi.
Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.
Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran: Perdagangan, Pernikahan, Pendidikan (pesantren), Seni dan budaya, Tasawwuf
C.    Kerajaan Islam Pertama Di Sumatera
a. Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculanyaa sebagai kerajaan Islam diperkira mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil proses Islamisasi daerah-daerah Pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7, ke 8 dan seterusnya. Bukti dari berdirinya kerajaan ini didukung dengan ditemukannya Nisan Kubur terbuat dari granit asal Samudra Pasai[2]. Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Dari segi politik, munculnya Kerajaan Samudera Pasai abad ke 13 sejalan dengan mulai runtuhnya peranan Maritim kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya memeran peranna yang sangat penting dalam kawasan samudera khususnya dalam bidang perdagangan.
Malik Al-Saleh merupakan raja pertama dari Kerajaan Pasai ini hal ini dapat diketahui dari melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu serta dari para peneliti dan narasumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat[3].
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke 13 M, didukung oleh berita Cimna dan pendapat Ibn Batutah, yang merupakan seorang pengembara asal Maroko yang pada pertengahan abad ke 14. Menurut Ibn Batutah Islam sudah hampir 1 abad  lamanya di Samudera Pasai serta Mazhab Syafi’I merupakan mazhab utama kerajaan ini.
Dalam kehidupan perekonomian kerajaan Samudera Pasai ini merupakan kerajaan maritime dan tidak mempunyai basisi agraris. Basis perekonomiannya adalah Perdagangan dan pelayaran. Tom Pires mengatakan bahwa di Pasai ada mata uang dirham[4] dan dikatakannya setiap kapal-kapal yang mem bawa barang-barang dari barat dikenakan pajak sebesar 6%.
b. Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507[5]. Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496[6]. Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Akan tetapi penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan. Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura[7].
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh[8]. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

D.    Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa

a.       Demak

Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto").
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati  yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
Proses islamisai di jawa tidak lepas dari peran Sultan Trenggana yang berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
b.  Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
c,  Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
BAB III
KESIMPULAN 
Dari penjelasan Makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Nusatara sebelum Pra- Islam dalam kondisi Budayanya hanya mengandalkan Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan Sedangkan mengenai ekonomi dan politik di Nusantara mengalami puncak kejayaannya pada waktu Sriwijaya diman Sriwijaya mengembangkan pusat Tradisional melalui beberapa jalur.
             Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara pada umunya berkembang pesat dan berperan penting dalam proses penyebaran Islam dan perluasan wilayah akan tetapi seiringnya kedatangan pedagang-pedagang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mengalami kemunduran. Apalgi di perparah dengan adanya konflik didalam kalangan kerajaan tersebut sehingga memberikan kesempatan bangsa barat untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan islam di nusantara.
Akan tetapi kerajaan-kerajaan Islam ini juga memberikan kontyribusi yang sangat penting bagi perkembangan islam di Nusantara terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan dari kerajaan-kerajaan islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia
Hasbullah Moeflich. 2010. Studi Sejarah Islam Sunda Bahan Kuliah Diskusi Mata Kuliah Sejarah Islam Di Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah Peradaban Islam
http//:www.swaramuslim/kondissocial politik sebelum islam dating kenusantara blogspot.com



[1] http//:www.swaramuslim/kondissocialpolitiksebelumislamdatangkenusantarablogspot.com
[2] Nisan Kubur itu didaptkan di Gampong Samudera bekas Kerajaan Samudera Pasai lihat buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, 2008, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 206.
[3] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai, disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah bernama Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberikannya gelar Malik Al-Saleh. Merah Selu merupakanputra Merah Gajah. Nama Merah merupakan nama gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Dari Hikayat itu juga disebutkan pula bahwa tempat pertama sebagai pusat Kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusang, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar yang menjadi pjusat perdagangan. Ada dua kota yang terletak bersebrangan di Muarang Sunga Peusang, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak aga lebih pedalaman sedangkan kota Pasai terletak lebih ke Muara. Lihat juga buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, hlm. 206.
[4] Mata uang tersebut menggunakan nama-nama SultanAlauddin, Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 ditemukan lagi 11 mata uaqng diyrham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah yang kesemuanya itu adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad 14 dan 15. Lihat buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, hlm 208
[5] Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, hlm. 56
[6] . Badri yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008, hlm. 209.
[8] Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, hlm 54

1 komentar: