Kamis, 22 Desember 2011

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA


BAB I
PENDAHULUAN
a, Latar Belakang

Nusantara  dalam keadaan pra-Islam banyak mengintrgrasikan sistem kepercyaaannya Monoteisme, dimana Dewa bersifat sakral yang menganggap titisan Tuhanya, pada waktu Hindu-Budha dalam kepemerintahan nya kebanyakan bersifat kasta-kasta dari yang kecil sampai dewa tertinggi.
 Dari Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak lepas dari perkembangan Islamisai di Nusantara yang di latar belakangi dengan adanya factor-faktor yang berperan penting dalam proses Islamisasi sehingga melahirkan lah sebuah kekuatan politik yang sangat besar sehingga munculnya kerajaan-kerajaan Islam hal ini karena berkat dari proses Islamisasi seperti pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, adanya komunitas-komunitas Islam di beberpa daerah kepulauan Indonesia. Serta adanya bukti-bukti peninggalan seperti makam-makam Islam, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah Kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Nusantara dalam pembahasan selanjutnya.                                
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kondisi Sosial Politik Sebelum Datangnya Islam di Nusantara
a.  Kondisi sosial budaya
Sebelum ditemukannya mesin yang menggerakkan kapal laut, pelayaran kapal-kapal lebih ditentukan oleh arus angin. Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim (angin muson), memberikan kemungkinan pengembangan jalan pelayaran Barat-Timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim timur sangat menentukan munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak aman Sriwijaya sampai akhir Majapahit.
Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan.
Masyarakat di kota pelabuhan merupakan masyarakat yang urban dan kosmopolit. Terciptalah suatu tatanan masyarakat kota. Interaksi tidak hanya terbatas pada pertukaran barang-barang ekonomi, akan tetapi terjadi pula interaksi budaya antarkelompok masyarakat. Dengan demikian, kehidupan masyarakat di kota pelabuhan akan menciptakan suatu masyarakat yang terbuka.
Dalam masyarakat yang seperti ini, akan memudahkan masuknya unsur budaya dari luar. Apabila unsur budaya itu mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang mapan, maka akan menjelma menjadi suatu peradaban. Sebelum kedatangan Islam di wilayah Nusantara, peradaban yang pernah muncul dan mampu membangun suatu struktur masyarakat yang mapan yaitu Hindu-Buddha. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang dibentuk dalam peradaban ini adalah masyarakat yang memiliki struktur hierarkis. Dalam masyarakat seperti ini, terdapat lapisan-lapisan sosial yang sangat ketat. Masyarakat terbagi atas kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antarindividu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri. Sebagai contoh seorang kasta Ksatria tidak bisa menikah dengan seseorang yang berasal dari Kasta Waisya. Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dan jagad raya bagaikan hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet. Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berakibat kehancuran. Terjadinya kesejahteraan atau kehancuran tergantung pada dapat tidaknya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terutama sekali negara, berhasil menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk kecil.
Penguasa makrokosmos adalah Dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja, sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi. Kedudukan raja dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari dewa atau sebagai keturunan, atau sebagai kedua-duanya, baik sebagai penitisan maupun keturunan dewa.
Raja memiliki kedudukan yang sangat sentral. Hubungan antara raja dengan rakyat membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula dan gusti. Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya. Pemikiran konsep ini tidak memungkinkan adanya suatu bentuk perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-kewajiban timbale balik antara atasan dan bawahan[1].
b. Kondisi politik dan ekonomi
Pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, Sriwijaya mengalami masa kejayaan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Kejayaan yang dialami Sriwijaya sangat ditentukan oleh letak dari kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Sriwijaya merupakan bagian dari jalur perdagangan internasional. Sebagai pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat kekuasaan, Sriwijaya menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Indonesia. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatra Utara, Selat Sunda yang kesemuanya masuk lingkungan kekuasaan Sriwijaya. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dikunjungi oleh pedagang dari Parsi, Arab dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri yang dilaluinya, sedangkan pedagang Jawa membelinya dan menjual rempah-rempah.
Memasuki abad ke-13, Sriwijaya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kekayaan alamnya sudah tidak lagi menghasilkan, kalah dengan hasil kekayaan di Jawa. Untuk menanggulangi ini, Sriwijaya menerapkan bea cukai yang mahal bagi kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhannya, bahkan memaksa agar kapal-kapal asing berlabuh di pelabuhannya. Tindakan Sriwijaya ini ternyata tidak memberikan keuntungan bagi kerajaannya, justru sebaliknya.
Kapal-kapal asing mencoba menghindar untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Kemunduran Sriwijaya diperburuk lagi oleh serangan Kerajaan Singhasari dari Jawa melalui ekspedisi Pamalayu. Dengan Pamalayu, supremasi Kerajaan Singhasari dapat diletakkan di bekas daerah pengaruh Sriwijaya di Sumatra.
Setelah Singhasari berkuasa, kemudian muncul Majapahit sebagai kekuatan kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Kemunculan Majapahit ini semakin memperlemah kedudukan Sriwijaya. Majapahit pernah tampil sebagai supremasi kekuasaan di wilayah Nusantara, setelah Sriwijaya runtuh. Kejayaan Kerajaan Majapahit dialami pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada. Dengan Sumpah Palapanya, Gajah Mada melakukan perluasan wilayah.
Majapahit kemudian mengalami kemunduran yang lebih banyak disebabkan oleh adanya konflik internal. Pada tahun 1478, Majapahit mengalami keruntuhannya. Peradaban Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara. Masyarakat yang Hinduistis merupakan masyarakat dengan struktur yang hierarkis, artinya masyarakat yang mengenal kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Hubungan antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antar individu hanya terjadi pada kelompok kastanya sendiri.
B.      Latar Belakang Munculnya Kerajaan Islam Di Nusantara
Sebelum Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara lahir peran seorang ulama, dan pedagang sang berperan penting yang menjadi factor dari lahirnya kerajaan:kerajaan Islam ini, maka dari itu kami berusaha untuk mempetakan latar belakang ini ke dua fase yang sebagai berikut:
a, Fase pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah).
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para penyebar islam yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya dakwah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.
Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
b.      Fase kedua, abad 13 masehi.
Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.
Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran: Perdagangan, Pernikahan, Pendidikan (pesantren), Seni dan budaya, Tasawwuf
C.    Kerajaan Islam Pertama Di Sumatera
a. Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculanyaa sebagai kerajaan Islam diperkira mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil proses Islamisasi daerah-daerah Pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7, ke 8 dan seterusnya. Bukti dari berdirinya kerajaan ini didukung dengan ditemukannya Nisan Kubur terbuat dari granit asal Samudra Pasai[2]. Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Dari segi politik, munculnya Kerajaan Samudera Pasai abad ke 13 sejalan dengan mulai runtuhnya peranan Maritim kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya memeran peranna yang sangat penting dalam kawasan samudera khususnya dalam bidang perdagangan.
Malik Al-Saleh merupakan raja pertama dari Kerajaan Pasai ini hal ini dapat diketahui dari melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu serta dari para peneliti dan narasumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat[3].
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke 13 M, didukung oleh berita Cimna dan pendapat Ibn Batutah, yang merupakan seorang pengembara asal Maroko yang pada pertengahan abad ke 14. Menurut Ibn Batutah Islam sudah hampir 1 abad  lamanya di Samudera Pasai serta Mazhab Syafi’I merupakan mazhab utama kerajaan ini.
Dalam kehidupan perekonomian kerajaan Samudera Pasai ini merupakan kerajaan maritime dan tidak mempunyai basisi agraris. Basis perekonomiannya adalah Perdagangan dan pelayaran. Tom Pires mengatakan bahwa di Pasai ada mata uang dirham[4] dan dikatakannya setiap kapal-kapal yang mem bawa barang-barang dari barat dikenakan pajak sebesar 6%.
b. Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507[5]. Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496[6]. Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Akan tetapi penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan. Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura[7].
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh[8]. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

D.    Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa

a.       Demak

Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto").
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati  yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
Proses islamisai di jawa tidak lepas dari peran Sultan Trenggana yang berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
b.  Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
c,  Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
BAB III
KESIMPULAN 
Dari penjelasan Makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Nusatara sebelum Pra- Islam dalam kondisi Budayanya hanya mengandalkan Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga akan menampakkan adanya suatu perubahan Sedangkan mengenai ekonomi dan politik di Nusantara mengalami puncak kejayaannya pada waktu Sriwijaya diman Sriwijaya mengembangkan pusat Tradisional melalui beberapa jalur.
             Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara pada umunya berkembang pesat dan berperan penting dalam proses penyebaran Islam dan perluasan wilayah akan tetapi seiringnya kedatangan pedagang-pedagang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mengalami kemunduran. Apalgi di perparah dengan adanya konflik didalam kalangan kerajaan tersebut sehingga memberikan kesempatan bangsa barat untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan islam di nusantara.
Akan tetapi kerajaan-kerajaan Islam ini juga memberikan kontyribusi yang sangat penting bagi perkembangan islam di Nusantara terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan dari kerajaan-kerajaan islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia
Hasbullah Moeflich. 2010. Studi Sejarah Islam Sunda Bahan Kuliah Diskusi Mata Kuliah Sejarah Islam Di Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah Peradaban Islam
http//:www.swaramuslim/kondissocial politik sebelum islam dating kenusantara blogspot.com



[1] http//:www.swaramuslim/kondissocialpolitiksebelumislamdatangkenusantarablogspot.com
[2] Nisan Kubur itu didaptkan di Gampong Samudera bekas Kerajaan Samudera Pasai lihat buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, 2008, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 206.
[3] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai, disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah bernama Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberikannya gelar Malik Al-Saleh. Merah Selu merupakanputra Merah Gajah. Nama Merah merupakan nama gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Dari Hikayat itu juga disebutkan pula bahwa tempat pertama sebagai pusat Kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusang, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar yang menjadi pjusat perdagangan. Ada dua kota yang terletak bersebrangan di Muarang Sunga Peusang, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak aga lebih pedalaman sedangkan kota Pasai terletak lebih ke Muara. Lihat juga buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, hlm. 206.
[4] Mata uang tersebut menggunakan nama-nama SultanAlauddin, Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 ditemukan lagi 11 mata uaqng diyrham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah yang kesemuanya itu adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad 14 dan 15. Lihat buku Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, hlm 208
[5] Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, hlm. 56
[6] . Badri yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008, hlm. 209.
[8] Tim Majelis Ulama. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, hlm 54

teori asal usul berdirinya suatu negara


BAB I
PENDAHULUAN
Negara sebagai suatu insitusi yang mengatur kehidupan masyarakat didalammnya dengan seperangkat aturan-aturan hukum yang mengikatnya merupakan suatu bahsan yang menarik.
Dalam paparan makalah ini penulis mencoba menjelaskan secara sederhana mengenai hukum dalam kaidah ilmu politik dan juga syarat-syarat terbentuknya suatu negara dengan acuan kepada Konvensi Montevideo. Selain itu junga mengangkat tentang teori asal usul suatu negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon) adalah ungkapan yang dikatakan oleh Aristoteles (342-335 SM) yang pernah menajdi guru dari Alexander Agung (Alexander The Great) di Makedonia. Demikian pula manusia disebut oleh Hobbes sebagai Homo Homini Lupus atau artinya mengandung sifat ganas. Maka apabila manusia dibiarkan berbuat sekehendak hatinya akan terjadi perang atau pergulatan manusia yang satu melawan manusia lainnya atau Bellum omnum Contra Omnes.
Agar tercipta suatu keteraturan maka diperlukanlah suatu negara. Negara adalah organisasi tertinggi pada tiap-tiap kelompok masyarakat, yang pada umumnya merupakan suatu bangsa yang turun temurun mendiami wilayah tertentu atau terdiri dari beberapa suku bangsa yang bergabung sebagai suatu bangsa.

A.    Hubungan Antara Hukum dan Politik

Hukum merupakan aturan-aturan yang jelas dan sifatnya mengikat anggota masyarakat secara keseluruhan. Hukum sering juga disebut sebagai undang-undang atau peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara dengan berdasarkan kesepakatan dari rakyat atau sekurang-kurangnya didasarkan pada asumsi adanya mandat dari rakyat.
Menurut pandangan para filosofis hukum maupun politik, hukum dipandang sebagai suatu “The Hallmark” yang sangat diperlukan oleh negara untuk mengatur tata kehidupan melalui aturan-aturan yang bersifat mengikat atau dapat dipaksakan pemanfaatannya. Oleh karena itu hukum sering disebut sebagai aturan yang memaksa. Namun juga disebut sebagai aturran yang mengikat  karena memang tidak selalu bersifat memakasa melainkan juga menjadi petunjuk dan pencerminan.[1]
Adapun hukum dalam kaidah ilmu politik adalah proses-proses, asas-asas, patokan-paokan, aturan-aturan yang menentukan pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga, antara yang berwenang mengatur dan memerintah serta menyelesaikan soal-soal perbedaan kepentingan antara manusia-manusia dan lembaga-lembaga dalam suatu pengelompokan masyarakat yang terpadu.[2]
B.     Syarat Berdirinya Negara
Dalam Konvensi Montevideo pada tahun 1993 menetapkan unsur-unsur atau syarat berdirinya suatu negara, yaitu:
1.      a permanent population;
2.      a defined territory;
3.      a government;
4.      a capacity to enter into relations with other states.
Maksudnya adalah bisa dikatakan suatu negara jika telah memiliki populasi penduduk yang jelas dan bukan hanya penduduk non maden. Kepemilikan wilayah yang jelas, memiliki pemerintahan yang sah, dan ada tidaknya pengakuan internasional atau pengakuan dari negara-negara lain sebagai suatu negara yang berdaulat baik pemerintahannya maupun sistem hukumnya dan mengadakan hubungan pada tingkat yangs sederajat dengan negara-negara lainnya.
C.    Teori Asal Usul Negara
Seperti diungkapkan oleh E. Iswara dalam bukunya Pengatar Ilmu Politik (1982: 136) bahwa teori lebih bertumpu kepada hasil pemikiran teoritis-deduktif dibandingkan kajian empiris-induktif.
a.      Teori Perjanjian masyarakat
Menurut teori ini bahwa masyarakat mengadakan kesepakatan untuk mendirikan suatu negara.
Thomas Hobbes mengemukakan hal pactum subjectionis bahwa dalam kesepakatan membentuk negara, rakyat menyerahkan semua hal mereka secara alamiah untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan negara.
John Locke mengemukakan adanya pactum unionis dan pactum subjectionis  bahwa mayoritas anggota suatu masyarakat membentuk persatuan dahulu, baru kemudian anggota masyarakat menjadi suatu negara.
Rosseau meletakkan paham kedaulatan rakyat. Maka rakyat memilih orang-orang untuk mewakilinya dalam menyusun aparatur pemerintahan.
b.      Teori Pengalihan Hak
Teori ini muncul dengan tokohnya antara lain Sir Robert Filmer, dan Loyseau. Pengertian dari teori ini adalah bahwa hak diperoleh setelah pihak lain melepas hak atau membiarkan berlakunya hak tersebut.
Umumnya pengalihan hak ini tepat diterapkan untuk mengkaji terbentuknya negara monarkis. Namun juga dengan sedikit perubahan maka teori ini bias digunakan kepada pembentukan negara sebagai hasil revolusi.
c.       Teori Alamiah
Teori ini dikemukakan oleh Aristoteles. Ia mengemukakan bahwa terbentuknya suatu negara adalah sebagai kodrat dari manusia itu sendiri sebagai zoon politicon yang membutuhkan tempat yaitu negara untuk menampung segala aktivitasnya. Dan dari kebutuhan alamiah inilah maka suatu negara terbentuk.
d.      teori Metafisis
Menurut Imanuel Kant bahwa negara ada, lahir dan terbentuk karena memang seharusnya ada. Negara adalah kesatuan supranatural terbentuknya pun karena dorongan supranatural atau metafisis.
e.       Teori Penaklukan
Teeori ini erat kaitannya dengan doktrin “Kekuatan Menimbulkan Hak” (might Makes Right).[3] Bahwa pihak atau kelompok yang kuat menaklukan pihak yang laiinya, lalu mendirikan negara. Pembuktian serta penggunaan kekuatan berlaku sebagai dasar (raison d’ etre) terbentuknya negara.
f.       Teori Organis
Bahwa negara adalah suatu organisme. Negara lahir sebagaimana analogi kelahiran makluk hidup lainnya. Maka perlahan muncullah suatu negara karena ada embrio yang mendorong kemunculannya. Negara tumbuh sebagi hasli suatu evolusi. Misalnya bermula dari pola kerjasama dan organsisasi sederhana, dan meningkat secara bertahap ke dalam bentuk yang lengkap dan jelas yaitu negara.[4]
g.      Teori Ketuhanan
Menurut Thomas Aquinas bahwa kekuasaan atas negara dan terbentuknya negara adalah karena hak-hak yang dikauniakan oleh Tuhan.
h.      Teori Garis Kekeluargaan
Bahwa terbentuknya negara sebagai permulaan dari hubungan suatu kekeluargaan yang sangat erat dan mampu menciptakan suatu negara. Setiap suku atau keluarga berkembang hingga membentuk suatu negara.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan paparan makalah yang telah penulis ungkapkan tadi, maka diketahui bahwa hokum dalam definisi ilmu politik adalah sebagai proses-proses, asas-asas, patokan-paokan, aturan-aturan yang menentukan pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga, antara yang berwenang mengatur dan memerintah serta menyelesaikan soal-soal perbedaan kepentingan antara manusia-manusia dan lembaga-lembaga dalam suatu pengelompokan masyarakat yang terpadu.
Sementara syarat yang harus dipenuhi bila ingin membentuk suatu negara adalah harus memiliki rakyat yang tetap, wilayah yang jelas, adanya pemerintahan yang sah secara hokum, dan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain.
Sementara teori-teori asal usul suatu negara antara lain:
1.      Teori Perjanjian Masyarakat.
2.      Teori Pengalihan Hak
3.      Teori Alamiah
4.      Teori Metafisis
5.      Teori Penaklukan
6.      Teori Organis
7.      Teori Ketuhanan
8.      Teori Garis Kekeluargaan

DAFTAR PUSTAKA

Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc. 2007. Pengantar Ilmu Politik Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya. Bandung: PT. Refika Aditama.
Iswara, F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta.


[1] Rodee, et, al. introduction to political science, McGraw-Hill, New York, 1983, hlm. 54 (indeed, the law is regarded by many politican and legal philosophers as the hallmark -the very essence- of the state).
[2] May Rudy, 2007, Pengantar Ilmu Politik Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya. hlm. 36.
[3] Rodee, et, al., 1983, hlm 23.
[4] May Rudy, 2007, hlm 41.

islam dan demokrasi


ISLAM DAN DEMOKRASI
 oleh: Tata Muhtadin
Pertanyaan yang biasa diajukan oleh banyak sarjana Muslim ialah apakah Islam memang mengenal konsep mengenai negara yang bersifat khas? Apakah benar pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa Islam menentang demokrasi?[1] Beberapa sarjana Muslim seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, dan lain-lain, misalnya, termasuk kaum intelektual yang biasa mengajukan tesis bahwa sebenarnya Islam tidak memiliki sistem ajaran tersendiri mengenai bentuk negara yang bersifat final. Karena itu, paham Negara Islam sebagai bentuk yang tersendiri adalah utopia yang tidak berdasarkan doktrin maupun fakta empirik dalam sejarah peradaban Islam sendiri. Bagi mereka ini, ajaran Islam jelas mengandung prinsip-prinsip ajaran yang bersifat demokratis. Tetapi bagi kelompok sarjana Muslim yang lain, konsep demokrasi itu dianggap berasal dari barat dan karena itu harus ditolak tanpa diskusi.
Menurut pendapat saya, kita harus memahami benar bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu sendiri harus dibedakan antara pengertiannya di zaman modern sekarang dengan perkembangan pengertiannya yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejak dari zaman Yunani kuno. Pada mulanya, di zaman Plato dan Aristoteles, istilah demokrasi itu sendiri, bukanlah sesuatu gagasan yang dianggap ideal. Di zaman itu, istilah demokrasi itu bahkan dipandang sebagai penyimpangan dari konsep negara yang ideal. Yang dianggap ideal di zaman Yunan kuno adalah plutokrasi, bukan demokrasi.
Di samping itu, Plato sendiri menulis buku “Republics” dan “Nomoi” (The Laws) yang berisi impian-impiannya tentang negara ideal itu. Dari buku “Republics” inilah lahir kemudian doktrin mengenai “The philosophers King”, sedangkan dari buku “Nomoi” selanjutnya berkembang doktrin mengenai nomokrasi dalam sejarah filsafat politik dan hukum. Ketika itu, tidak ada pandangan yang mengagungkan ide demokrasi seperti yang berkembang luas di zaman modern dewasa ini. Wacana demokrasi malah dihindari karena dianggap sangat buruk.
Buruknya pengertian mengenai demokrasi itu menyebabkan bahwa di masa-sama sesudahnya, istilah demokrasi juga tidak pernah muncul dalam perbincangan mengenai konsep-konsep negara ideal dalam sejarah. Sampai berkembangnya Islam di Timur Tengah pada abad ke-7 M, istilah demokrasi itu juga belum dikenal dengan konotasi sebagai konsep yang ideal. Bahkan, sampai abad ke 7 M itu, dalam sejarah politik umat manusia belum dikenal adanya sistem pergantian kekuasaan tidak dengan berdasarkan hubungan darah. Bahkan dalam konsep negara republik yang digambarkan oleh Plato dalam bukunya “Republics”, yang memimpin negara ideal itu tetap lah seorang Raja, yaitu Raja yang filosof atau Raja yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan kualitas pemikiran di atas rakyatnya atau di atas warga masyarakatnya.
Di sepanjang sejarah sampai ke masa nabi Muhammad memimpin komunitas Muslim di Madinah, tidak dikenal adanya pemimpin yang tidak diangkat berdasarkan keturunan. Sejak usia 40 tahun, Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah dan mendapatkan kepercayaan warga untuk memimpin jamaah kaum yang beriman dalam bermasyarakat dan berorganisasi. Dalam kapasitas kepemimpinannya di tengah-tengah masyarakat kota Madinah setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, nabi Muhammad tidak ubahnya berfungsi ganda, di satu pihak sebagai Nabi dan Rasul, tetapi pada saat yang sama ia juga menjadi pemimpin ‘negara’ seperti dalam pengertian modern dewasa ini.
Nabi Muhammad saw lahir menjadi nabi dan rasul serta menjadi pemimpin komunitas dan organisasi masyarakatnya atau negara, bukan karena ia merupakan keturunan nabi atau rasul sebelumnya seperti nabi Ismail, nabi Ishak, dan sebagainya. Muhammad juga bukan merupakan keturunan Raja yang berkuasa sebelumnya. Ia adalah orang biasa yang kemudian terpilih menjadi nabi dan rasul serta terpilih melalui kesuksesan usaha dakwahnya sendiri menjadi pemimpin masyarakat kota Madinah. Kemudian, kepemimpinannya terus berkembang karena jumlah jamaahnya terus meningkat, dan jangkauan wilayah yang dikuasainya terus meluas ke kota-kota lain di luar kota Madinah. Karena itu, dapat dikatakan, Muhammad lah yang lahir menjadi pemimpin pertama organisasi kekuasaan “negara” yang tidak berdasarkan keturunan darah.
Karena itu, sesudah nabi Muhammad saw wafat, timbul masalah mengenai proses pergantian kepemimpinan pengganti beliau selanjutnya. Lagi pula, al-Quran dan hadits-hadits yang ditinggalkan oleh nabi, sama sekali tidak memberikan pedoman teknis untuk melakukan proses penggantian itu dengan mekanisme tertentu. Akhirnya para sahabat nabi harus merumuskan dan menentukan sendiri mekanisme pergantian kepemimpinan itu berdasarkan kesepakatan bersama. Pada tahap awal perkembangan sistem politik yang dibangun secara empirik dalam praktik di masa khulafaurrasyidin, mekanisme pergantian itupun berkembang mengikuti kebutuhan dan kesepakatan bersama.
Pengangkatan atau pemilihan Khalifah Abubakar Siddik jelas berbeda dari cara pemilihan atau pengangkatan Khalifah Umar ibn Khattab. Demikian pula pada pergantian dari Khalifah Umar ke Khalifah Usman ibn Affan, dan dari Usman ibn Affan ke Ali ibn Abi Thalib, jelas berbeda-beda satu dengan yang lain. Mekanisme pergantian kepemimpinan pada periode khalifaurrasyidin sama sekali belum berpola secara tetap. Namun, meski belum berpola secara tetap, yang pasti ialah pergantian dari nabi ke Abubakar, lalu ke Umar, kemudian ke Usman, ke Ali ibn Abi Thalib, dan terakhir ke Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tidaklah didasarkan atas prinsip keturunan. Sistem keturunan baru terjadi lagi, sesudah kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan yang diteruskan oleh puteranya.
Inilah periode ideal sistem politik baru yang diperkenalkan oleh kaum Muslimin dalam enam pola kepemimpinan pada abad ke 6M. Di zaman Plato, konsep republik yang diidealkannya masih tetap dipimpin oleh raja dengan keturunan-keturunannya berdasarkan prinsip hubungan darah. Tetapi di masa nabi Muhammad dan para sahabat generasi pertama, pergantian kepemimpinan tidak lagi didasarkan atas keturunan darah. Lalu bagaimanakah proses peralihan kepemimpinan itu terjadi dalam praktik abad ke-6 itu?
Nabi Muhammad sendiri diakui sebagai pemimpin oleh jamaahnya semata-mata hanya didasarkan atas adanya ‘social-trust’ yang timbul dari pengalaman praktik kepemimpinan bermasyarakat. Warga masyarakat percaya kepadanya sehingga ia disebut sebagai “al-amin” jauh sejak Muhammad belum diangkat menjadi Rasul oleh Allah swt. Kepercayaan itu tumbuh dan berkembang, tidak saja dari kalangan yang beriman, tetapi juga dari kalangan yang tidak beriman. Ketika menjadi pemimpin di kota Madinah, Muhammad tidak saja dipercaya sebagai pemimpin oleh kaum Muslimin, tetapi juga oleh semua kalangan yang sama-sama mengikatkan diri dalam perjanjian bersama Piagam Madinah.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah pemimpin pertama yang lahir dari praktik demokrasi dalam sejarah umat manusia. Sesudah itu, adalah Abubakar Siddik yang kemudian dibai’at oleh para sahabat yang dimotori oleh Umar ibn Khattab untuk bertindak sebagai pemimpin pengganti nabi, atau disebut “khalifatu al-rasul” atau pengganti rasul. Sistem “bai’at” itu jika kita dalami pengertiannya, tidak lain merupakan mekanisme pemilihan umum atau pemilihan demokratis seperti yang kita kenal di zaman modern dewasa ini. Ketika Khalifah Abubakar Siddik wafat, maka ia digantikan oleh Umar ibn Khattab yang dipilih secara musyawarah oleh “ahlul halli wal ‘aqdi” yang terdiri atas beberapa orang sahabat. Para sahabat yang duduk dalam keanggotaan “ahlul halli wal ‘aqdi” itu tidak ubahnya sebagai lembaga perwakilan seperti yang kita kenal dewasa ini. Dari kedua pola pemilihan khalifah rasul, yaitu Khalifah Abubakar Siddik dan Khalifah Umar ibn Khattab tersebut, kita dapat merumuskan adanya sistem pemilihan langsung dan sistem pemilihan tidak langsung atau perwakilan yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam.
Selain itu, dalam praktik kepemimpinan Rasulullah, dikenal pula adanya sistem permusyawaratan yang digunakan nabi dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai urusan-urusan publik. Di luar urusan wahyu dari Allah swt, nabi Muhammad dikenal tidak pernah mengambil keputusan apa pun juga kecuali melalui musyawarah dengan sesama para sahabat. Bahkan, untuk urusan-urusan yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak dan masyarakat yang luas, Rasulullah selalu mengundang tokoh-tokoh sahabat yang berasal dari kabilah, suku, atau pun kalangan-kalangan yang bersangkutan untuk diajak bermusyawarah. Itu lah sebabnya maka dalam al-Quran terdapat 2 (dua) ayat yang sangat penting mengenai prinsip musyawarah itu.
Dalam QS. dinyatakan, “Wasyawirhum fil-amri” (Dan bermusyawarah lah kamu dalam urusan-urusan yang kamu hadapi). Kemudian dalam QS ditegaskan pula, “Wa amruhum syuro bainahum” (Dan dalam urusan-urusan mereka, mereka saling bermusyawarah satu sama lain). Pada suatu hari, ketika jumlah umat Islam sudah bertambah banyak di kota Madinah, dan untuk menjaga agar kepentingan perbelanjaan umat Islam dapat diatasi sendiri oleh kaum Muslimin, maka oleh nabi diundanglah pertemuan di masjid untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pasar. Salah satu kesimpulan dan keputusan yang diambil oleh Rasulullah dari pertemuan itu adalah keputusan untuk mendirikan pasar yang dikelola sendiri oleh umat Islam. Dengan begitu, kaum Muslimin tidak akan tergantung kepada pasar yang dikendalikan oleh orang Yahudi yang anti Islam ketika itu. Keputusan itu diambil melalui musyawarah bersama dengan melibatkan wakil-wakil berbagai kelompok umat Islam, yang dapat kita ibaratkan seakan-akan merupakan pembicaraan mengenai kebijakan legislasi di lembaga perwakilan modern untuk memutuskan dibentuknya pasar dan kebijakan ekonomi untuk kepentingan bersama.
Banyak sekali contoh-contoh yang dapat dikemukakan mengenai praktik pengambilan keputusan dalam urusan-urusan kehidupan bersama di masa nabi Muhammad, dan di masa khulafaurrasyidin yang semuanya dilakukan dengan musyawarah. Artinya, dalam urusan duniawi dan mu’amalat, nabi Muhammad tidak pernah membuat keputusan sendiri tanpa musyawarah. Selain itu, dalam urusan-urusan duniawi itu, proses pengambilan keputusan selalu melibatkan konstituen atau pun para pemangku kepentingan (stake-holders) yang terkait. Jika diperhatikan, sebenarnya, mekanisme pengambilan keputusan seperti yang demikian ini jugalah yang dipraktikkan oleh sistem demokrasi modern dalam mengambil keputusan politik untuk kepentingan bersama.
Mengapa permusyawaratan dianggap sangat penting dalam sistem sosial Islam? Alasan konseptualnya jelas, karena Islam sangat menekankan kedudukan setiap manusia sebagai pribadi yang otonom, yang masing-masing orang per orang diberi predikat sebagai ‘khalifah’ Allah di atas muka bumi. Berbeda dari pengertian ‘khalifah rasul’, ‘khalifah Allah’ adalah konsep tentang seluruh umat manusia yang dipandang sebagai khalifah atau pengganti Tuhan untuk mengolah dan mengelola kehidupan di atas muka bumi. Dengan status yang sama sebagai khalifah Tuhan, maka setiap manusia bersifat otonom, berkesamaan dan bersifat egaliter. Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan yang sama, semua orang harus diperlakukan sama (equal treatment), tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi juga dilarang atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan beragama.
Karena alasan demikian itulah maka musyawarah menjadi sangat penting. Tidak ada keputusan untuk kepentingan bersama yang dapat diambil tanpa adanya permusyawaratan. Dari permusyawaratan itulah ragam nilai kebenaran dan aneka kepentingan serta pandangan dapat diperbincangkan bersama untuk mencapai kesatuan pandangan tentang sesuatu yang benar, baik dan tepat untuk diputuskan. Melalui permusyawaratan semacam itu substansi kebenaran dan keadilan akan jauh mendapat penghargaan di atas jumlah suara yang menjadi dasar pengambilan keputusan yang bersifat procedural. Melalui proses musyawarah itu pula demokrasi substantive dapat dibangun dan dikembangkan di atas demokrasi yang hanya bersifat procedural. Pendek kata, sistem permusyawaratan yang ditekankan dalam tradisi Islam itu justru menggambarkan konsep yang ideal tentang konsep demokrasi yang sebenarnya sebagaimana dipahami dalam sistem modern sekarang ini. Demokrasi yang berkualitas, tidak saja bersifat procedural (procedural democracy), tetapi juga harus bersifat substantive (substantive democracy).
Jika setiap orang diperlakukan bersifat otonom dengan kedudukan yang sama sebagai subjek khalifah Tuhan dalam kehidupan, maka pengertian kita tentang kekuasaan dapat dikaitkan dengan pengertian kedaulatan rakyat atau kedaulatan setiap manusia dalam mengolah dan mengelola kehidupan bersama. “All men are created equal”, dan semuanya atas nama Tuhan mempunyai kedudukan sebagai khalifatullah. Karena itu, prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan dalam praktiknya dapat terjelma dalam prinsip kedaulatan manusia, atau kedaulatan rakyat. Artinya, pemahaman agama tentang kekuasaan tertinggi yang berasal dari Allah swt tidak perlu dipertentangkan dengan pengertian kedaulatan rakyat atau demokrasi. Tuhan Yang Maha Kuasa itu, dalam praktik konkritnya, justru terjelma dalam paham kedaulatan rakyat. Karena itu, muncul adagium yang menyatakan “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Pernyataan ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah rakyat dipertuhankan atau rakyat diidentikkan dengan Tuhan. Pernyataan itu haruslah dipahami dalam maknanya yang bersifat simbolik bahwa suara rakyat itu merupakan penjelmaan konkrit dari suara Tuhan Yang Maha Berkuasa atas manusia.
Tentu saja, apa yang dipraktikkan oleh nabi Muhammad dan para sahabat di zamannya itu sama sekali belum atau tidak disebut dengan istilah demokrasi seperti dewasa ini. Apalagi, sampai ke zaman nabi Muhammad, istilah demokrasi itu sendiri pun belum berubah dan berkembang menjadi istilah yang dipandang positif dan ideal. Istilah demokrasi dalam pengertian yang ideal baru timbul dalam sejarah modern, sesudah adanya pengalaman praktik selama berabad-abad dalam sejarah politik Islam sampai abad ke-13M yang menggambarkan ide-ide dan prinsip-prisnip yang dikemudian hari kita kenal dengan istilah demokrasi dengan memanfaatkan istilah Yunani kuno yang dulunya pernah dihindari karena dianggap negatif.
            Apa yang kita pahami dewasa ini sebagai prinsip-prinsip demokrasi, sudah dipraktikkan dalam sejarah Islam, bahkan dimulai sejak zaman nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad lah tampil menjadi pemimpin tidak berdasarkan keturunan dan kemudian diteruskan kepemimpinannya oleh orang lain juga tidak berdasarkan keturunan. Khalifah Abubakar Siddik lah yang dapat dipandang sebagai khalifah atau pemimpin pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui mekanisme bai’at yang dimotori oleh Umar ibn Khattab dan kemudian diikuti oleh semua sahabat sepeninggal nabi Muhammad. Nabi Muhammad pula yang pertama mempraktikkan sistem permusyawaratan berdasarkan sistem perwakilan antar suku dan kabilah serta antar kalangan warga dalam mengambil keputusan-keputusan penting menyangkut pelbagai kepentingan bersama.
Dari praktik-praktik empiris yang demikian, tidak dapat tidak kita harus mengakui bahwa sebenarnya Islam lah yang justru pada awalnya mempelopori dipraktikkannya ide-ide dan prinsip-prinsip demokrasi yang dikenal di zaman modern dewasa ini. Orang Islam yang menolak ide demokrasi dewasa ini jelas karena mereka memberi makna yang salah kepada istilah demokrasi itu sendiri yang secara simbolik dianggap mewakili atau mencerminkan pandangan yang berasal dari peradaban barat. Padahal istilah demokrasi itu sendiri bukan berasal dari mana-mana. Dalam pengalaman praktik di barat sendiri, yaitu di Yunani kuno, perkataan demokrasi itu justru pada mulanya tidak dianggap positif dan ideal melainkan sangat negatif dan buruk. Konsep demokrasi baru dipandang baik dan ideal karena ditemukannya pelbagai ide dan prinsip dalam praktik di sepanjang sejarah umat manusia sejak zaman awal perkembangan Islam yang kemudian dianggap tepat untuk disebut dengan istilah demokrasi.
Karena itu, bagi orang Islam. menolak ide demokrasi itu sebenarnya dapat diibaratkan sebagai orang Arab yang menerjemahkan kata alcohol dalam kamus Arab modern dengan tanpa menyadari bahwa asal kata ‘alcohol’ sendiri pada mulanya justru berasal dari bahasa Arab sendiri. Tentang kata demokrasi, tentu harus diakui ia berasal dari bahasa Yunani kuno, tetapi pemberian makna yang bersifat positif atas kata demokrasi itu pada mulanya justru berasal dari praktik-praktik baru yang dikembangkan oleh umat Islam sendiri sejak zaman nabi Muhammad dan periode khulafaurrasyidin.
Lagi pula, dalam bahasa pergaulan umat manusia di zaman sekarang, tidak banyak lagi bangsa (untuk tidak menyebutnya tidak ada lagi orang atau bangsa) yang secara retorik tidak mengklaim menganut paham demokrasi. Demokrasi dan bahkan hak asasi manusia praktis sudah menjadi bahasa dunia, bahasa pergaulan dalam bernegara dan dalam pergaulan antar negara. Karena itu, daripada menolak sesuatu yang sudah menjadi milik bersama umat manusia, jauh lebih produktif bagi siapapun juga untuk ikut serta berlomba-lomba memberikan makna yang tepat dan benar mengenai konsep demokrasi menurut ukuran filosofi dan keyakinan-keyakinan kita masing-masing.
Dengan perkataan lain, tidak salah bagi kaum Muslimin untuk berpendirian bahwa konsep demokrasi tidak bertentangan dan bahkan sangat sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Malah dari uraian di atas kita juga dapat berkesimpulan bahwa Islam lah yang justru pertama kali menumbuh-suburkan praktik ideal mengenai apa yang di kemudian hari dinamakan orang dengan demokrasi. Karena itu, Islam itu sangat demokratis, dan demokrasi itu sendiri dapat dianggap sangat Islamis. Dalam praktik dewasa ini, Negara-negara besar anggota Organisasi Konferensi Islam juga sebagian besar telah mengadopsikan ide-ide dan prinsip-prinsip demokrasi itu dalam praktik sistem ketatanegaraan masing-masing. Negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, dan bahkan Iran dapat dipandang cukup berhasil dalam menerapkan sistem demokrasi itu dalam praktik. Bahkan, dengan suksesnya sistem demokrasi yang dikembangkan di Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia semakin membuktikan bahwa Islam dan Demokrasi dapat berjalan beriringan satu dengan yang lain.

sumber: Jimly Asshiddiqie, 1995. Islam Dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Gema Insani Pers.


penulis: Tata Muhtadin Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Uin Sunan Gunung Djati Bandung

[1] Lihat Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Gema Insani Pers, Jakarta, 1995.