Maher Zain terus menelorkan karya-karya inspiratifnya. Pekan ini, yang paling gress dari seorang Maher Zain adalah single dengan titel 'Number One for Me'.
Pesan yang disampaikan dalam lagu ini begitu menggugah. Setelah diteliti ulang liriknya, luarr biasa, ternyata ini adalah lagu yang spesial didedikasikan bagi semua Ibu di seluruh dunia.
Lirik Lagu Terbaru Maher Zain - Number One for Me (Mother)
I was a foolish little child
Crazy things I used to do
And all the pain i put you through
Mama now I’m here for you
For all the times I made you cry
The days I told you lies
Now it’s time for you to rise
For all the things you sacrificed
Oooh
If I could turn back time rewind
If I could make it undone I swear that I would
I would make it up to you
Oooh
If I could turn back time rewind
If I could make it undone I swear that I would
I would make it up to you
Mom I'm all grown up now
I'ts a brand new day
I'd like to put a smile on your face everyday
Mom I'm all grown up now
And it's not too late
I'd like to put a smile on your face everyday
You know you are The Number One for me
You know you are The Number One for me
You know you are The Number One for me
Number One for me
Now I finally understand
That famous line
About the day I’d face in time
‘Cos now I have a child of mine
Even though I was so bad
I’ve learnt so much from you
Now i’m trying to do it to
Luv my kids the way you do
There’s no one in this world
That can take your place
Ooo I’m sorry for ever taken you for granted
I will use every chance I get
To make you smile
Whenever I’m around you
Now I will try to love you
Like you love me
Only God knows how much you mean to me
langsung saja jika suka dengan lagu ini download link di bawah ini.
Jumat, 23 Desember 2011
LAGU TERBARU MAHER ZAIN NUMBER ONE FOR ME
SAMI YUSUF ASMA ALLAH
Lagu yang sangat mendalam maknanya, dinyanyikan oleh Sami Yusuf seorang berkebangsaan Aljazair dan dia sendiri adalah seorang komposer musik termasuk lagu-lagunya sendiri. Lahir pada Juli tahun 1980. Belajar musik di London pada Royal Academy of Music. Telah menghasilkan beberapa lagu dalam beberapa album. Ditahun 2009 ini dia meluncurkan album “Sami Yusuf Without You” dimana lagu Asma Allah ada didalamnya sesuai dengan judulnya lagu ini menyebutkan beberapa nama-nama agung dari Allah S.W.T yang terdiri dari 99 nama.
Berikut Lyric Lagu Asma Allah tersebut :
Raheem, Kareemun, ‘Adheem, ‘Aleemun,
Haleem, Hakeemun, Mateen
(Merciful, Generous, Incomparably Great, All-Knowing Forbearing, Wise, Firm)
Mannaan, Rahmaanun, Fattaah, Ghaffaarun
Tawwaab, Razzaaqun, Shaheed
(Bestower of blessings, Most Compassionate, Opener, Forgiver Accepter of Repentance, Provider, Witness)
Allahumma salli ‘ala Muhammad, wa aali Muhammad
Ya Muslimeen sallou ‘alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad And upon the Family of Muhammad O Muslims, send salutations upon him)
Allahumma salli ‘ala Muhammad, wa sahbi Muhammad
Ya Mu’mineen sallou ‘alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad And upon the Companions of Muhammad O believers, send salutations upon him)
Lateef, Khabeerun, Samee’, Baseerun
Jaleel, Raqeebun, Mujeeb
(Gentle, All-Aware, All-Hearing, All-Seeing Majestic, Watchful, Responsive)
Ghafur, Shakourun, Wadud, Qayyumun
Ra’uf, Saburun, Majeed
(Forgiving, Appreciative, Loving, Self-Existing by Whom all subsist Most Kind, Patient, Most Glorious)
Allahumma salli ‘ala Muhammad, wa aali Muhammad
Ya Muslimeen sallou ‘alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad And upon the Family of Muhammad O Muslims, send salutations upon him)
Allahumma salli ‘ala Muhammad, wa sahbi Muhammad
Ya Mu’mineen sallou ‘alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad And upon the Companions of Muhammad O believers, send salutations upon him)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
La Ilaaha Illahu, Al Malikul Quddoos
(God is Greater, God is Greater There is no god but Him, the King, the Most Holy)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Rahmanu irham dha’fana
(O Most Compassionate! Have compassion on our weakness)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Ghaffaaru ighfir thunoubana
(O Forgiver! Forgive our sins)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Sattaaru ostour ‘ouyoubana
(O Concealer! Conceal our defects)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Mu’izzu a’izza ummatana
(O Bestower of honour! Bestow honour on our Ummah)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Mujeebu ajib du’aa’ana
(O Responsive One! Answer our prayers)
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ya Lateefu oltof binaa (x3)
(O Gentle One! Show gentleness to us)
Oltof binaa
(Show gentleness to us)
silahkan download link di bawah ini jangan lupa klik like jika sahabat menyukai artikel ini
PROBLEM PERADABAN ISLAM DAN BARAT
Oleh : Hamid Fahmy
Anggapan bahwa kebudayaan Barat lebih unggul dibanding peradaban Islam telah lama ada dalam benak sebagian ummat Islam, dan akhir-akhir ini anggapan itu terasa semakin kuat sehingga mereka menganggap Islam perlu belajar dari Barat dalam segala hal, bahkan termasuk dalam memahami Islam. Sementara itu terdapat pula kalangan ummat Islam yang bersikap sebaliknya, yaitu menganggap kebudayaan Barat tidak sesuai dengan peradaban Islam dan segala sesuatu yang berasal dari Barat harus ditolak, padahal orang-orang ini pada saat yang sama sedang menikmati hasil kepesatan teknologi Barat yang dimanfaatkan oleh hampir seluruh Negara di dunia. Kedua anggapan diatas sama ekstrimnya dan sudah dapat diduga bahwa keduanya tidak berangkat dari pemahaman yang akurat tentang peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat & Problem ummat Islam
Kebudayaan Barat (Western Civilization), sejarahnya, adalah warisan yang dikembangkan oleh bangsa Eropah dari akar kebudayaan Yunani kuno, yang kaya dengan konsep filsafat, ilmu pengetahuan, politik, pendidikan dan kesenian, yang dicampur dengan kebudayaan Romawi yang terkenal dengan rumusan undang-undang dan hukum serta prinsip ketatanegaraan, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropah, khususnya bangsa Jerman, Inggeris dan Perancis. Agama Kristen yang tersebar ke Eropah justru lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Barat daripada mempengaruhi, sehingga dalam agama ini unsur-unsur kepercayaan Yunani kuno, Rumawi, Mesir dan Persia. Inilah agama satu-satunya yang pusat asalnya berpindah, yaitu dari Yerussalam ke Roma, Italy. Ini pertanda bahwa agama ini telah diambil alih oleh bangsa Eropah. Jadi kebudayaan Barat bukan berdasarkan pada agama Kristen, ia adalah kebudayaan yang berdasarkan pada filsafat.
Oleh sebab itu perlu dicatat disini adalah bahwa kepesatan perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak berangkat dari ajaran agama. Ia adalah kebudayaan yang bersendikan pandangan hidup sekuler. Pengaruh gelombang kebudayaan Barat melalui kolonialisme dan imperialisme telah membawa dampak yang cukup serius terhadap negara-negara dunia ketiga yang terjajah. Pandangan hidupnya yang sekuler dan kultural itu mengandung elemen-elemen yang efektif merubah atau sekurang-kurangnya mengacaukan pandangan hidup masyarakat yang menjadi obyek westernisasi.
Gelombang modernisme ini mengingatkan kita pada gelombang Hellenisme yang mengepakkan sayapnya ke berbagai pusat kebudayaan dunia masa itu, termasuk ke dalam peradaban Islam. Dan untuk itu perlu dibandingkan bagaimana kondisi ummat Islam ketika gelombang itu melanda mereka. Di zaman Hellenisme ummat Islam memiliki kemampuan dan kekuatan konseptual untuk mengadapsi atau mengislamkan filsafat Yunani. Kekuatan konseptual itu untuk mengadapsi itu tidak lain adalah ilmu pengetahuan yang berakar pada pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Sedangkan di zaman modern-postmodern ini ummat Islam tidak memiliki kekuatan seperti dizaman menyebarnya gelombang Hellenisme.
Mengapa ummat Islam dizaman sekarang ini tidak mempunyai kekuatan itu lagi? Jawabannya sungguh kompleks yang intinya berkisar pada problem ilmu pengetahuan dan hal-hal yang diakibatkannya dalam bentuk lingkaran setan. Jika sebab-sebab itu ditelusur dari sejak kejatuhan Baghdad dan kelemahan kekuasaan politik Islam di berbagai pelosok dunia, dampak yang mendasar adalah timbulnya problem Ilmu. Kondisi politik saat itu tidak kondusif untuk pengembangan ilmu, banyak ulama yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga struktur masyarakt tidak lagi mendukung untuk kelanjutan tradisi intelektual. Meskipun kegiatan dalam skala kecil masih dapat terus berlangsung hingga kini.
Jika kita lacak dari problem ilmu yang berarti juga problem pendidikan maka akibat langsungnya adalah rendahnya kualitas pemimpin dan kondisi politik Islam yang akhirnya juga kembali lagi berdampak kepada proses pengembangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Terlepas dari mana kita mencari sebab sebab utama kelemahan ummat, tapi yang jelas situasi yang tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu telah mengakibatkan lemahnya penguasaan ummat Islam terhadap konsep-konsep sentral dan fundamental yang digali dari dalam ajaran dan pandangan hidup Islam.
Selain jawaban dari kondisi internal ummat Islam, terdapat pula bukti-bukti adanya faktor eksternal yang menjadi penyebab kelemahan ummat. Selain sebab invasi militer yang kasat mata, juga terdapat sebab non-fisik yang mempengaruhi pemikiran ummat Islam. Sebab-sebab itu tidak lain dari pemikiran Barat yang merasuk kedalam dan merusak pemikiran ummat Islam melalui berbagai bentuk dan medium. Dalam bidang pendidikan, misalnya, konsep pendidikan sekuler yang dibawa bersama dengan proses penjajahan membawa serta penyebaran prinsip-prinsip ilmu, filsafat dan pandangan hidup Barat; tradisi-tradisi kebudayaan sekuler disebarkan melalui medium hiburan, nilai-nilai postmodernisme dengan konsep liberalismenya dibawa bersama dengan konsep pasar bebas, teknologi informasi dan pemikiran filsafat.
Dalam bidang pemikiran Islam kajian Orientalisme memang sudah lama dikenal sebagai kajian atau pemikiran Islam ala Barat, yang tidak saja sarat dengan "religious prejudice" tapi juga diwarnai oleh mind-set up yang sekuler dan cara brefikir yang dikotomis. Bagi cendekiawan Muslim yang tidak memiliki framework kajian Islam yang mapan dan juga tidak mempunyai pemahaman yang jeli tentang karakter berfikir dikotomis Barat, tentu akan mengagumi pemikiran para orientalis itu dan serta merta memakainya dalam pemikiran keagamaan mereka. Karena memang teknik penulisan para Orientalis itu benar-benar mengikuti standar ilmiah. Tapi bukankah kebohongan dan kepalsuan itu juga dapat terjadi dalam dunia ilmiah?
Kini jelaslah bahwa berbeda dari kondisi ummat dizaman gelombang Hellenisme, dizaman modern-postmodern ini kondisi ummat Islam sangat lemah, khususnya dibidang ilmu pengetahuan. Dalam kondisi yang lemah inilah arus pemikiran Barat telah masuk kedalam pemikiran ummat Islam melalui berbagai bidang kehidupan dan keilmuan, sehingga konsep-konsep mereka merembes kedalam pemikiran ummat Islam tanpa proses adaptasi secara konseptual. Akibatnya, konsep-konsep Islam dan Barat difahami secara tumpang tindih (overlapp) dalam skala luas. Bahkan diantara kalangan muda Muslim ada yang beranggapan bahwa Islamisasi adalah sekularisasi. Ketika konsep-konsep dari kedua kebudayaan itu telah dianggap sama, maka masyarakat Muslim terkondisi untuk menyimpulkan bahwa "antara Islam dan Barat tidak ada perbedaan yang berarti"; "keduanya adalah produk manusia dan untuk kebaikan nasib ummat manusia"; "tidak semua yang dari Barat harus kita tolak", "agar dapat maju Islam harus belajar dari Barat" dan ungkapan-ungkapan kesimpulan yang serupa.
Persoalannya kesimpulan-kesimpulan yang menganggap Barat adalah sama dengan Islam itu timbul dari pikiran ummat Islam disaat mereka berada pada kondisi yang lemah secara konseptual dan dari pemahaman yang kurang akurat tentang esensi kebudayaan Barat. Dalam situasi seperti ini apa yang diperlukan adalah ekposisi secara apa adanya tentang hakekat pandangan hidup Barat yang menjadi dasar kebudayaannya. Karya Prof.Dr.S.M.N.al-Attas, yang berjudul "Risalah Untuk Kaum Muslimin", menjelaskan dengan sangat komprehensif esensi kebudayaan Barat dan perbedaannya dengan Islam.
Oleh karena itu terapi yang tepat untuk membangun peradaban Islam adalah melalui pembenahan dalam bidang ilmu pengetahuan dimana konsep-konsep yang asli Islam digali kembali. Disinilah konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi arus modernisme, sekularisme, liberalisme dan lain-lain yang berasal dari Barat.
Peradaban Islam
Berbeda dari kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat, peradaban Islam berlandaskan pada agama Islam yang berasal dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Esensi peradaban Islam dapat ditelusur melalui kajian konsep-konsep kunci didalamnya, seperti 'ilm, 'amal, adab, din dan sebagainya. Berfikir dan berilmu dalam Islam adalah kewajiban yang sama derajatnya dengan kewajiban beramal saleh, bahkan iman merupakan sesuatu yang concomitant pada kesemua kegiatan berfikir dan beramal, dalam artian keberadaan yang satu tidak sempurna tanpa disertai oleh yang lain. Proses psikologis dan psikis yang terpadu ini sudah di set dalam diri manusia sebagai potensialitas yang jika diaktualisasikan secara proporsional ia akan memenuhi tujuan penciptaannya sebagai sebaik-baik makhluk Tuhan (ahsunu taqwim) dan sebaliknya ia akan menjadi makhluk yang paling hina (asfala safilin). Di Barat berfikir rasional yang membawa kepada doktrin rasionalisme tidak memiliki dimensi iman dan amal. Lagipun, konsep akal bukan sekedar bermakna mind, ia meliputi qalb, fuad, bashar, aql dan sebagainya; dan karena itu konsep berfikir dalam Islam bukan sekedar bermakna reasoning dalam pengertian Barat, tapi lebih kaya dari itu dan meliputi unsur-unsur kejiwaan yang lebih menyeluruh seperti tafakkur, tadabbur, ta'aqqul.
Konsep berfikir ini juga berkaitan dengan konsep 'ilmu yang merupakan pemberian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Jika rasionalitas adalah esensi Islam, maka para filosof Barat yang menjunjung prinsip rasionalitas itu dapat disebut Ulama yang dapat dipastikan takut kepada Allah (yakhshallah), padahal sejatinya tidak. Jika rasionalitas dikaitkan dengan 'ilm maka ia tidak dapat dipisahkan dari iman, dan orang yang berilmu itu menjadi superior jika ia berangkat dari atau berdasarkan pada iman kepada Allah (Lihat Qur'an 58:11).
Sebelum seseorang beriman ia perlu mengetahui apa yang diimaninya, dan seorang mukmin harus berilmu agar dapat beramal. Ilmu tanpa amal adalah gila, kata al-Ghazzali, dan amal tanpa ilmu adalah sombong. Amal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki dan amal tanpa ilmu akan menyesatkan, kata para ahli hikmah. Jadi ilmu adalah prasyarat bagi amal dan memiliki peranan sentral dalam peradaban Islam.
Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat).
Jika kita memahami adab seperti itu, maka kita harus merubah pemahaman kita terhadap makna peradaban selama ini. Peradaban adalah suatu struktur sosial dan spiritual yang merupakan sumbangan Islam yang berharga bagi ummat manusia. Realitas sosial dan spiritual itu harus difahami secara integral, tidak dapat dipisah-pisahkan atau dilihat secara sendiri-sendiri tanpa saling-berkaitan seperti dalam tradisi dan kebudayaan Barat.
Oleh sebab itu peradaban Islam tidak sama dengan kebudayaan Barat atau kebudayaan asing lainnya, karena akarnya memang berbeda. Di Barat masyarakat berbudaya atau civil society hanya menggambarkan kedudukan individu-individu itu dihadapan Negara, sedang masyarakat beradab menggambarkan kedudukan individu dihadapan Tuhan dan didepan masyarakatnya sekaligus. Struktur civil society tidak melibatkan unsur-unsur spiritual, sedang struktur masyarakat beradab adalah kombinasi aspek-aspek fisikal dan spiritual yang sesuai dengan esensi kemanusiaannya. Manusia berbudaya adalah manusia yang tunduk pada aturan-aturan Negara, sedang manusia beradab tunduk pada perintah Tuhan, aturan Negara dan masyarakatnya sekaligus. Dalam civil society Tuhan "tidak boleh campur tangan" mengenai urusan negara, sedang dalam masyarakat beradab aturan-aturan dan perintah Tuhan mengejawantah dalam setiap gerak individu masyarakat dan pemimpin Negara dan menghiasai berbagai gerak dan kegiatan institusi negara, dalam suatu bangunan peradaban yang manusiawi.
Atas dasar itu iman, ilmu dan amal setiap individu masyarakat adalah sine qua non dalam bangunan peradaban Islam, yang aktualisasinya pasti tercermin secara institusional dan tak terbantahkan, baik dalam bentuk organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan, bahkan Negara. Sebaliknya, organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan dan juga Negara yang dibentuk oleh individu-individu Muslim yang tidak beradab atau yang memenuhi prasyarat bagi pembentukan bangunan peradaban Islam hanya akan menjadi simbol-simbol dan wadah-wadah yang secara substantif tidak mencerminkan wajah peradaban Islam bahkan mungkin malah merusaknya.
Kesimpulan
Ringkasnya, Islam adalah agama yang berangkat dari kebenaran mutlak dari wahyu Tuhan yang dalam dirinya terdapat nilai universal yang dapat mengakomodir kebudayaan dan pemikiran asing dengan melalui proses Islamisasi. Sedangkan Barat adalah kebudayaan yang bermula dari spekulasi akal belaka yang tiada memiliki rujukan kepada kebenaran mutlak dan tiada akan pernah mencapai kebenaran. Masalah yang dihadapi kebudayaan Islam hakekatnya bukanlah kemunduran dalam bidang-bidang yang sifatnya fisikal, akan tetapi adalah kerancuan (tumpah tindih) pemikiran, yaitu antara konsep-konsep Islam dan konsep-konsep Barat sekuler. Karena itu perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal usul suatu konsep dan pemikiran dan mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadapsi atau ditolak. Islamisasi bukanlah adopsi pemikiran asing kedalam Islam, tapi lebih merupakan adapsi pemikiran luar dengan proses epistemologis yang meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tawhidi. Kita tidak anti Barat tapi bukan pula menganggap Barat sama atau bahkan lebih unggul dalam segala segi dari Islam. Kita dapat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi Barat, tapi tidak dapat meniru pandangan hidup Barat yang sama sekali berbeda dari pandangan hidup Islam.
cara buat link download di blog
Bagi para blogger atau pemilik blog pada blogspot, jika kalian punya file (video,musik,film,aplikasi) tentunya ingin membagikan kepada pengunjung blog kamu bukan?? Cara ini mungkin adalah salah satu jurus untuk meningkatkan traffic pengunjung blog kamu semua, coba kamu pikir, siapa yang tidak mau sesuatu yang gratisan, tentunya kita semua mau kan...
Kali ini saya akan membagikan tips atau cara bagaimana membuat tautan link yang bisa di download pada blog, khusus nya pada blogspot…
Kalian harus punya tautan atau link tempat download nya dulu, jika belum punya silahkan daftar pada beberapa situs penyedia layanan upload file , seperti addfly, ziddu, indowebster, atau mediafire,..nah kali ini akan saya jelaskan cara upload file melalui mediafire karena menurut saya cukup mudah.
1. Buka www.mediafire.com setelah itu buat account dulu (kalau belum punya akun)
2. Setelah selesai membuat akun ,cek email kamu untuk verifikasi account yang telah kamu buat tadi
3. Setelah account anda terverifikasi maka kamu sudah bisa mulai menguploud file yang akan kamu bagikan
4. Masuk ke dalam my files ,disitu kamu bisa membuat beberapa file baru pada kotak folder, jika kamu menguploud beberapa file, dan ingin memisah misah kan file tersebut
5. Klik tombol upload
6. Setelah itu akan muncul pop up pada layar kamu, disitu silahkan klik ditegah maka akan mengarah kepada tempat file yang akan di upload pada komputer kamu
7. Setelah dapat file yang akan diupload , maka selanjutnya klik begin upload,tunggu hingga proses upload selesai
8. Setelah proses selesai kamu sudah mempunyai file yang tersimpan pada account kamu untuk bisa didownload orang lain
9. Untuk bisa didownload orang lain klik file yang sudah agan upload tadi disamping kanan nya ada tombol share klik disitu untuk mendapatkan link tautan file tersebut setelah itu copy link tersebut.
Nah untuk menampilkan link download tersebut didalam blog sebaiknya sediakan tempat khusus didalam blog kamu agar mudah terlihat oleh setiap pengunjung cara yang paling mudah adalah sebagai berikut
1. Login kedalam blog kamu
2. Klik layout , dan klik atau pilih tambah gadget (terserah agan mau taruh sebelah mana,sebaiknya taruh di sidebar sebelah kanan dari blog kamu)
3. Setelah itu pilih atau klik tambahkan HTML/java script
4. Kemudian akan muncul pop up baru, disitu agan bisa memberi judul pada gadget yang akan kamu tambahkan pada blog kamu tersebut seperti contoh nya "free download" untuk menarik pengunjung
5. Dikolom konten berikan nama file yang akan menarik agar pengunjung blog kamu tertarik ,setelah itu copy kode dibawah ini
<a href="http://www.mediafire.com/?sktcu7glaq956or" target="_blank" title="[http://www.mediafire.com/?sktcu7glaq956or]"><img src="http://images.cooltext.com/2344908.png" width="131" height="43" alt="Download" /></a>
Tanda merah kamu ganti dengan link yang sudah agan copy di mediafire tempat kamu menyimpan file tersebut , yang nantinya jika diklik akan mengarah langsung ke link download tersebut
6. Setelah itu klik simpan dan proses selesai
Maka sekarang kamu sudah bisa menampilkan link untuk bisa didownload pada blog kamu
Selamat mencoba…………
Info menarik lain nya kunjungi blog saya di http://tata-muhtadin.blogspot.com/
Jejak Soeharto : Petualangan Politik Seorang Jenderal Godean
September, tahun 1945. Para pemuda Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang. Ibu Umiyah Dayino, 75 tahun, masih ingat sebuah pemandangan. Soeharto, eks tentara Peta, sering datang ke bilangan Pathook di Yogya. Sebuah kawasan yang kini terkenal sebagai pusat oleh-oleh bakpia ini, sekitar 50 tahun silam, menjadi sarang berkumpul pemuda-pemuda bawah tanah yang disebut Kelompok Pathook. Para pemuda itu berkumpul, berdiskusi, berbagi informasi, merakit senjata, menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh partai. Penggerak-penggerak utama “geng” ini adalah Dayino, Koesomo Soendjojo, dan Denyoto. Semuanya kini sudah almarhum. Umiyah, yang tinggal di Ngabean, Yogya, adalah janda dari Dayino. “Dulu, rumah ini memang menjadi rumah kedua markas pemuda Pathook. Markas utama ada di rumah Koesomo Soendjojo, di Kampung Pathook,” katanya kepada TEMPO suatu sore.
Di situlah Soeharto sering mendengar orang berdiskusi. Memang tak sampai setiap hari, tapi ia bisa saja mampir dua kali seminggu. Ia tiba setiap pukul delapan malam dan dan bertahan sampai pukul tiga pagi. Itu semua dilakukan untuk “belajar politik” kepada Dayitno dan Soendjojo, yang dekat dengan para politisi sosialis. Adalah Marsoedi, seorang eks tentara Peta, yang memperkenalkan Soeharto kepada kelompok Pathook. “Pemuda Pathook itu seperti pemuda Menteng 31 Jakarta. Semua berkumpul di situ, apakah itu PKI atau yang lain,” tutur Marsoedi, mengenang. Ibrahim, 76 tahun, mantan anggota Pathook, masih ingat betul bahwa yang sering meladeni makanan atau minuman untuk Soeharto adalah seorang bernama Munir. Ia adalah Ketua Serikat Buruh. “Munir kemudian dijatuh hukuman mati oleh Soeharto, padahal mereka pernah sama-sama di Pathook,” kata Ibrahim. Jika wartawan menyempatkan diri melacak masa lalu Soeharto di Yogyakarta dan menemukan kembali aktivis-aktivis Kelompok Pathook dulu itu ada alasannya.
Sebuah buku berjudul Suharto: A Political Biography karya R.E. Elson, yang baru saja meluncur dalam jumlah terbatas dan berharga jual Rp 400 ribu, menyinggung tentang Kelompok Pathook ini. Boleh disebut di situlah proses pembentukan pemikiran pertama Soeharto. Atau, bisa dikatakan bahwa Pathook adalah sebuah potret kecil bagaimana cara dan gaya Soeharto berkawan. Di Pathook, ia tidak larut dalam pergaulan. Ia mengambil jarak. “Ia bukan anggota,” tutur Ibrahim. Soeharto lebih banyak diam, tapi agaknya ia secara saksama mengamati kecenderungan karakter dan sikap orang, sehingga ketika tiba suatu “masa” ia dihadapkan pada sikap memilih mana kawan, mana lawan, ia telah siap. Ia bahkan tega mengorbankan sahabatnya sendiri. Munir, yang punya nama lengkap Mohammad Munir, dieksekusi pada Mei tahun 1985.
Marsudi, orang yang membukakan cakrawala politik Soeharto, yang kemudian menjadi perwira intel Soeharto, juga dijebloskan ke penjara selama lima tahun di zaman Orde Baru. Tudingannya? Anggota Partai Komunis Indonesia. Buku ini adalah sebuah hasil penelitian yang disusun secara komprehensif dan hati-hati. Ada beberapa hal yang tetap menjadi pertanyaan: misalnya, sosok misterius Syam Kamaruzaman, yang sesungguhnya adalah anggota Kelompok Pathook.
Banyak spekulasi mengatakan, kelak kemudian hari ia menjadi agen ganda dan merupakan kunci utama Peristiwa G30S. Sayang, Elson tidak memberi ruang untuk mengeksplorasi misteri Syam. Ada hal lain yang menarik yang sekilas disentuh Elson, yakni soal penyelundupan Soeharto akhir tahun 1940-an. Ibu Umiyah, misalnya, mendengar sebuah versi cerita bahwa, ketika Soeharto memimpin Brigade X (Wehtkreise III) di Yogyakarta, ia sudah terlibat penyelundupan. Menggunakan bahan-bahan dari WTIR (Wekelijks Territoriaal Inlichtingen Rapport) dan NEFIS (Netherland Forces Intelligence Service), Elson membenarkan dugaan itu. Sayangnya, pemaparannya hanya sekilas. Elson juga menuturkan periode kepanglimaan Soeharto di Semarang tahun 1950-1959 secara selintas. Pada Juli 1957, saat menjadi Panglima Jawa Tengah di Semarang, Soeharto mendirikan YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorium Empat).
Mereka mendapatkan modal awal sebesar Rp 419,352 dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Tahun itu juga, Soejono Hoemardani, staf Soeharto, bekerja sama dengan YPTE mendirikan NV Garam di Salatiga, yang bergerak di bidang transportasi. YPTE mendapatkan sepuluh persen dari keuntungan. Masih pada tahun yang sama, Soejono membeli separuh saham PT Dwi Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaitu Mohammad Bob Hassan, dan pengusaha Sukaca. Pada akhir tahun 1957, luar biasa, modal YPTE langsung mencapai Rp 18 juta. Pada Agustus 1958, YPTE mendirikan NV Pusat Pembelian Hasil Bumi, perusahaan jual-beli produksi pertanian.
Pada tahun 1959, kekayaan YPTE melonjak menjadi Rp 35 jutaan, sehingga YPTE bisa meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta rupiah untuk mengembangkan industri kecil di Jawa Tengah. Agustus 1959, YPTE melangkah lebih jauh lagi: menanamkan investasi sebesar Rp 15 juta untuk membeli Pabrik Gula Pakis. Untuk mengatasi kekurangan stok pangan di Jawa Tengah, Soeharto membuat kebijakan mengadakan barter gula dengan beras dari Thailand dan Singapura. Maka, diutuslah agen-agen YPTE bernama Bob Hasan dan Soejono Hoemardani untuk membuat koordinasi tukar-menukar ilegal antara Jawa Tengah dan Singapura.
Soal barter inilah yang membawa Soeharto ke hadapan tim pemeriksa Angkatan Darat dengan tuduhan korupsi. Pada April 1957 di Jakarta, diresahkan oleh kabar merebaknya korupsi di lingkungan tentara, A.H. Nasution meng-instruksikan membuat tim investigasi korupsi. Pada 18 Juli 1959, sebuah tim inspeksi dari Jakarta dipimpin Brigadir Jenderal Sungkono tiba di Semarang. Aspek-aspek finansial YPTE diperiksa oleh tim yang diketuai Letnan Kolonel Sumantri. Pada 13 Oktober 1958, Soengkono mengeluarkan pernyataan pers di Semarang tentang kegiatan YPTE. Keuntungan yayasan ini digunakan untuk membeli pompa air, traktor, pupuk para petani di Jawa Tengah, dan untuk membantu para pensiunan ABRI dan kebutuhan sehari-hari keluarga serdadu, misalnya membantu bila ada kematian atau pernikahan atau membeli kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, tim tersebut menyatakan bahwa kasus barter ilegal Soeharto “dapat dimaafkan” lantaran itu dilakukan untuk kesejahteraan petani dan prajurit.
Posisi Elson sendiri tampak sependapat dengan “keputusan resmi”. Ia menyangsikan bahwa segala uang itu masuk ke kantong pribadi Soeharto, lantaran dari risetnya ia mendapat fakta bahwa kehidupan Soeharto di Semarang sederhana . “As far as I am aware, Suharto himself was not directly involved in such maters, and there is no evidence that connects him directly to a share in the profits of these business, ” (Sepanjang yang saya ketahui, Soeharto tidak terlibat secara langsung dalam kasus itu, dan tak ada fakta yang mendukung bahwa dia mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini-Red.), demikian ditulis Elson. Elson juga menampik anggapan umum bahwa hubungan bisnis di bawah tangan antara Soeharto dan Liem Sioe Liong terjalin di Semarang karena-menurut Elson-pada saat itu fokus bisnis Liem berganti.
Oktober 1956, Liem mendirikan NV Bank Asia, yang kelak akan menjadi Bank Central Asia (BCA). Tahun 1957, Liem telah meninggalkan Kudus dan pindah ke Jakarta. Hubungan erat Soeharto dan Liem-menurut Elson-baru ketika di Jakarta, di awal Orde Baru. Yang menjadi soal, dengan kesimpulan seperti itu adakah Elson telah mewawancarai beberapa saksi hidup saat itu? Wartawan TEMPO menemui Mayor Jenderal (Purnawirawan) Moehono, yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda yang diutus Nasution untuk mendampingi tim kecil Ibrahim untuk memeriksa Soeharto.
“Jauh sebelum membentuk Yayasan Teritorial Empat, Soeharto sudah melakukan korupsi, yaitu penjualan mobil-mobil tua, sejumlah mobil yang usianya belum mencapai lima tahun ikut dilegonya,” tutur Muhono. Dalam daftar pustaka, misalnya, Elson menggunakan referensi buku Letnan Jenderal Purnawirawan Mochammad Jassin, mantan Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya 1967-1970: Saya Tidak Pernah Minta Ampun pada Soeharto.
Entah apakah Elson mewawancarai langsung Jassin atau tidak. Sebab, dalam wawancaranya dengan media pada tahun 1998, Jassin mengatakan: “Tiga tahun yang lalu saya tanya ke Pak Nas sewaktu dia mengawinkan cucunya, ‘Pak Nas, katanya Soeharto itu pernah jadi penyelundup.’ Dia bilang, ‘Iya bukan hanya teh, ada cengkih, besi tua, tekstil. Menurut Jassin, sebenarnya Soeharto sudah mau dipecat olek Pak Nas tapi diselamatkan oleh Gatot Soebroto.’
Menurut Muhono, yang pertama kali melaporkan penyelundupan ini adalah Pranoto Reksosamudra. Itulah sebabnya Soeharto sangat dongkol kepada Pranoto, yang dikenalnya di Pathook itu. Ketika di Semarang, ternyata Pranoto menjadi rival politik Soeharto. Pranoto inilah yang oleh Bung Karno ditunjuk sebagai caretaker keamanan pasca-G30S. Tapi, kemudian, Pranoto ditahan oleh Soeharto selama 15 tahun (dari 16 Februari 1966 sampai 16 Februari 1981). Kepada TEMPO, Umiyah, istri Dayino, menyatakan bagaimana ia ingat saat Pranoto keluar dari penjara. Ketika itu suaminya, Dayino, menemui Pranoto.
Kedua sahabat ini berangkulan dan Pranoto berpesan kepada Dayino: “No, kowe ojo melu-melu sing kuoso iki, mergo sing kuoso iki iblis (Kamu jangan ikut-ikutan yang berkuasa, karena yang berkuasa ini iblis).” Bagian penting lain yang menarik tapi terasa tak memuaskan dahaga pembacanya adalah bab G30S-PKI. Elson tampak bersikap ekstrahati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam teori konspirasi. Ia sama sekali tidak menyentuh kontroversi keterlibatan CIA di balik G30S-PKI atau bahwa Soeharto semacam soldier of fortune yang menjual negara.
Bagaimanapun, sikap hati-hati Elson ini memiliki sisi positif karena ia mampu menunjukkan kritik terhadap Kol. Latief. Berdasar bahan-bahan wawancara surat kabar, buku, dan pleidoi Latief, ia menunjukkan beberapa bagian yang tidak konsisten dalam pernyataan Kolonel Latief. Misalnya, pengakuan Latief bahwa semenjak di Brigade X ia menjadi anak buah Soeharto bertentangan dengan pengakuannya yang lain.
Kesimpulan Elson, sebetulnya baik Latief maupun Untung sama sekali tidak akrab dengan Soeharto. Bahwa fakta Soeharto pernah menghadiri perkawinan Untung adalah hal yang dilebih-lebihkan. Elson berpendapat Soeharto tidak terlibat dalam peristiwa itu. Tapi dia menangguk untung. Bagi Elson, Soeharto adalah sosok yang sulit diketahui isi hatinya. Di tengah misterinya, Elson menganggap kekuatan utama Soeharto adalah kemampuannya membuat kalkulasi politik.
Salah satu prinsip Soeharto: ia tak akan bertindak sebelum sampai ada tanda jelas. Ia sabar, tahan, menunggu momen tepat, meskipun dalam rentang itu korban nyawa berjatuhan. Contohnya adalah pada waktu malam pembunuhan jenderal itu. Mendengar laporan Latief bahwa ada penculikan jenderal, ia tidak bertindak apa-apa. Mungkin ia melihat sebuah kesempatan bagi dia sendiri untuk maju. Demikianlah taktik politik Soeharto.
Menurut analisis Elson, Soeharto juga tak suka pada seorang pesaing atau rival. Banyak pengamat menganggap, sesungguhnya dalam praktek politik sehari-hari Soeharto tak ada orang dekat yang betul-betul dipercaya Soeharto. Sebab, jika orang itu mulai menonjol dan dianggapnya “keluar” dari arahannya, ia akan digencet. Elson menganggap Soeharto tak akan menghancurkan lawan (pesaingnya) apabila dia melihat kesempatan untuk membuat sang lawan berubah menjadi anak buahnya. Bila tak tunduk, ia akan berusaha keras mengisolasi pesaingnya hingga dia tidak akan mendapat dukungan. Sepanjang sejarah, kita lihat Ali Sadikin yang “dibuang” di masa Orde Baru. Bahkan soal sepele seperti bentuk mata uang pun bisa jadi masalah besar bagi Soeharto.
Ketika Jusuf Ronodipuro mengusulkan agar kita memiliki uang kertas bergambar Sukarno, Soeharto tak setuju kalau Soekarno hanya tampil sendirian. Akhirnya, uang pecahan itu diputuskan menampilkan gambar Sukarno-Hatta. Menurut Elson, unsur pembalasan dendam juga menjadi bagian gaya kepemimpinan Soeharto. Seorang sumber TEMPO menceritakan, begitu Sultan Hamengku Buwono IX menjadi wakil presiden, ia ingat betapa Soeharto tampak senang. Kepada sumber TEMPO tersebut, Soeharto mengatakan bahwa kini Raja Jawa-lah yang harus tunduk pada dirinya-petani dari Desa Kemusuk. Dari pernyataan itu, terasa udara dendam kelas.
Kelemahan utama dalam kepemimpinan Soeharto adalah dia bukan pemimpin yang memiliki visi. Model kepemimpinannya, menurut Elson, sangat instrumental, sederhana. Langkah-langkah yang diambilnya banyak yang karena kebutuhan konkret dan praktis. Ia seolah pengamal ekstrem pepatah Latin, Carpe Diem: raihlah hari ini. Soeharto tak banyak membaca. Elson pernah mendapat cerita bagaimana seorang lingkaran dalam Istana pernah diam-diam ingin “mendidik” Soeharto.
Setiap pekan, sang sumber ini membawa setumpuk majalah luar negeri, seperti Time, ke ruang kerja Soeharto. Tapi, tiap kali ia datang, tumpukan majalah itu tak tersentuh. Sekali waktu di Yogyakarta, Sukarno menyebut Soeharto sebagai koppig (keras kepala). Sikap koppig ini juga terasa bagi masyarakat di bawah pemerintahannya karena Soeharto begitu defensif apabila ditanya soal bisnis keluarganya. Bahkan, ketika tahun 1990-an model nepotisme yang dia bangun rentan terhadap krisis, ia tetap defensif. Soeharto, menurut Elson, sedari awal selalu membutuhkan sumber-sumber pemasukan off budget (di luar pembukuan) yang tidak melalui pemeriksaan ketat. Ia menciptakan mesin-mesin uang seperti Ibnu Sutowo, yang sepak terjangnya di luar anggaran. Pada waktu itu, semua berjalan lancar karena faktor boom minyak. Semua “pelanggaran” yang dilakukan seolah terlegitimasi dengan kesuksesan Pertamina membangun apa saja. Penempatan personel militer ke dalam lapisan elite perusahaan sipil juga seolah menjadi absah.
Tahun 1967, ia menempatkan Soejono Humardani sebagai dewan utama Bank Windu Kencana milik Liem Sioe Liong. Ia seolah memberi model bagaimana tentara harus memanfaatkan sumber-sumber bisnis untuk membiayai operasinya. Ia juga membiarkan ketika istrinya, Tien Soeharto, mendirikan yayasan-yayasan filantropis yang dananya diperoleh dari perusahaan-perusahaan. Tahun 1966, bersama istri Ibnu Sutowo, Tien Soeharto mendirikan Yayasan Harapan Kita, yang dananya dijatah beberapa persen dari PT Bogasari.
Selanjutnya, lingkup yayasannya tambah beragam, dari yayasan agama sampai yang bersifat tradisi seperti Yayasan Mangadek, sebuah yayasan untuk memelihara Istana Mangkunegaran yang pasokan dananya dikoordinasi pengusaha Sukamdani. Soeharto, mengutip istilah Harry Tjan Silalahi, adalah seorang pemimpin petani yang memiliki mentalitas lumbung. Seorang petani sehari-hari penampilannya sederhana, cukup mengenakan kaus, asal lumbungnya penuh. Sosok Soeharto terlihat sederhana, tak suka pesta-pesta. Tapi ia puas lumbung keluarganya, sanak familinya, kroninya terisi untuk tujuh turunan. Mengutip analisis Jenderal Soemitro, Elson menyebut Soeharto memang lemah terhadap keluarganya. Itulah sebabnya kondisi fisiknya semakin merosot setelah kematian istrinya pada 28 April 1996. Padahal, sebelumnya saat kunjungan ke Kazakhstan, kondisi fisiknya masih bagus. Ia dikabarkan masih kuat menunggang kuda lokal yang larinya cepat. Sayang, Elson tak menjelajahi soal kematian Tien Soeharto.
Benarkah isu-isu yang tersebar selama ini? Atau ada fakta lain? Tentunya itu menarik diulas. “Kematian Ibu Tien karena serangan jantung seperti yang ditulis Elson itu tidak benar,” kata Muhono, yang di hari-hari kematian Tien Soeharto mengetahui keadaan dan suasana Cendana. Buku ini memang banyak bertumpu pada banyak pustaka dan riset dalam rangka upaya Elson mencari atau me-nemukan gaya personal kepemimpinan Soeharto. Inilah sebuah gaya yang, celakanya, begitu tertanam dalam birokrasi modern Indonesia. Elson tidak melakukan wawancara dengan Soeharto. Tapi, itu bukan soal. Sebab, Cyndi Adams, yang menyusun biografi Sukarno berdasar wawancara yang dalam dengan “pujaan”-nya itu, malah membuat bukunya itu mengandung banyak bias emosional.
Buku Elson terbilang cukup komprehensif hanya bila pembaca ingin mengetahui garis besar perjalanan politik Soeharto. Tapi, bila pembaca membaca buku ini dengan semangat “pembongkaran” sesuatu yang baru dalam misteri sosok Soeharto, atau jika ingin mendapat informasi atau data tekstual yang mengejutkan, tampaknya buku ini tak bisa menjadi pilihan.
Sebagaimana fitrah profesi penulisnya, buku ini adalah sebuah analisis yang komprehensif tentang petualangan politik Soeharto yang disusun dengan rapi dan teliti tanpa gelora atau keinginan untuk menggebrak.
*Sumber: Arsip Majalah Tempo
Peristiwa Malari
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.
Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Peristiwa Malari itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam.
Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. “Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. “Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!” teriaknya. “Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas….”
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa “dialog diganti dengan dialog jalanan….”
Tetapi Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta ratusan bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari sejumlah toko perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.
“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman ketika ditemui, Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, setelah itu Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid. “Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap,” Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud meredam aksi mahasiswa.
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Malari sebagai Wacana
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.
Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu–antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola–dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992:166).
Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.
Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.
Pintu tertutup untuk PSI
Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik “pluralis modern”. Kelompok ini-seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)-meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.
Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.
Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.
Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.
Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.
Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan “bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. “PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.”
Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. “Banyak juga anak muda yang tertarik.”
Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.
Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.
Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.
Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.
Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. “Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman Tolleng.
Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.
Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.
Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? “Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.
Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.
Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, “Independent group sudah mati sebelum lahir.”
Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.
Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. “Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.
Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah “markas” independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.
Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini “mati” setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.
Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.
Rahman Tolleng-di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969-berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.
Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.
Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.
Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. “Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.
Seperti yang dikatakan William Frederick (2002) kita hanya bisa sekedar melihat the shadow of an unseen hand (bayangan dari tangan yang tidak kelihatan). Sebagian sejarah Orde Baru–termasuk persitiwa Malari 1974–masih gelap (karena digelapkan).
Referensi :
• Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam
• Arsip Majalah Tempo, Lari dari Malari
• Arsip Majalah Tempo, Pintu tertutup bagi PSI
Langganan:
Postingan (Atom)