Kamis, 22 Desember 2011

TEORI KONFLIK


BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan antar kelompok telah menjadi perhatian dari berbagai pihak di Indonesia. Pemerintah dan juga lembaga-lembaga tertentu yang berada di Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam menjawab permasalah hubungan antar kelompok di negeri Nusantara ini, yang pada dasarnya adalah wilayah yang terbungkus oleh lingkungan multikultural. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, langkah yang ditempuh oleh pihak-pihak yang harus bertanggung jawab tersebut, terkesan tidak memberikan hasil. Hal ini dinilai dari fakta dan realita yang ada, terutama yang diketahui dari berbagai media massa, bahwa masalah konflik antar kelompok ini tidak pernah menemukan titik temu untuk menyatakan damai. Salah satu masalah yang sangat sensitif, berhubungan dengan konflik antar kelompok ini, adalah permasalahan agama. Karena dianggap sebagai suatu kepercayaan yang sakral dan suci, dan berlandaskan kepada keyakinan dan moralitas agama tersebut, banyak konflik yang terjadi di masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus telah terjadi proses kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas oleh kelompok dominan, dengan mempermasalahkan penodaan suatu agama dan mengganggu ketertiban umum. Disusunnya makalah ini didasarkan dengan beberapa alasan dan tujuan yang kemudian akan dipaparkan dalam uraian latar belakang dan permasalahan. Diharapkan dengan uraian berikut akan memberikan gambaran kepada pembaca tentang garis besar makalah ini, mengenai alasan dan tujuan yang diinginkan oleh penyusun.
A.    Latar Belakang
Di Indonesia―struktur masyarakatnya merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, kelompok, dan agama―muncul praktek-praktek eksklusi sosial. Praktek eksklusi berdasar agama ini menyebabkan pengabaian, pengasingan dan pencabutan hak atas orang atau sekelompok orang disebabkan oleh pemahaman tentang agama. Praktek eksklusi ini sering menimpa kelompok minoritas yag memiliki aliran kepercayaan dan kelompok sekte keagamaan yang berbeda dari apa yang telah ditentukan oleh negara. Pihak yang mempunyai daya untuk melakukan praktek eksklusi sosial terhadap kaum minoritas ini adalah kaum dominan (kelompok agama yang berkuasa) demi memperoleh kekuatan dan perhatian dari penguasa. Pluralitas agama di Indonesia ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain juga menjadi ancaman yang berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial di masyarakat, bahkan disintegrasi nasional. Hal inilah yang menjadi alasan kami untuk membahas bagaimana hubungan antar agama-agama yang ada di Indonesia. Merujuk pada pembahasan mata kuliah Sistem Sosial Indonesia, tentang Relasi Sosial antar Kelompok Agama di Indonesia, penyusun mengangkat masalah hubungan antar agama ini dan melihatnya dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis, yang menekankan kepada Teori Konflik.
B.     Permasalahan
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat. Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara. Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.[1] Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Di sini timbul dua pertanyaan, yaitu
1). mengapa konflik agama bisa terjadi, padahal ketentuan dan peraturan tentang kebebasan memeluk agama dan menjalankannya sudah diatur di dalam UUD dan UU?
2). Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tindakan kekerasan dan praktek ekslusi sosial dapat terjadi dalam hubungan antar agama di Indonesia?
C.    Kerangka Konseptual
Dalam melihat hubungan antar agama ini, terdapat dua kerangka analisis yang dipakai oleh sosiolog, yaitu Struktural Fungsional dan Teori Konflik.
1. Struktural Fungsional
Pendekatan ini menitikberatkan pada fungsi agama dalam struktur yang saling kait mengait di masyarakat. Teori ini merujuk kepada pendapat Durkheim, yaitu terdapat tiga fungsi utama agama: a). sebagai perekat sosial, b). sebagai kontrol sosial, c). sebagai pemberi makna dan tujuan.
2. Teori Konflik
Analisis ini menggaris bawahi peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Marx berpendapat bahwa agama hanya alat untuk menanamkan kesadaran palsu (false consciousness) agar supaya orang-orang dapat menerima permasalahan sosial di dunia ini dan berharap terus pada datangnya dunia yang lebih baik. Agama juga dipandang sebagai alat bagi kaum elite politik untuk mempertahankan kekuasaannya (agama, kekuasaan, dan politik memiliki hubungan yang erat). Karena perebutan kekuasaan dalam suatu negara akan terus berlangsung, agama-agama berlomba untuk semakin mendekatkan diri dengan sumber-sumber kekuasaan dari masa ke masa.
Dalam makalah ini, penulis akan menganalisa masalah hubungan antar agama dari sudut pandang teori konflik. Teori ini membantu menjelaskan penyebab antar kelompok agama yang di satu sisi merupakan perekat sosial namun di sisi lain merupakan penyebab utama terjadinya disintegrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Konflik
Konflik atau conflictus berasal dari bahasa Latin yang berarti pertentangan[2] merupakan perwujudan dan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang bahkan golongan besar seperti negara. Konflik adalah gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Konflik melekat dengan masyarakat, dimana konflik itu selalu ada selama masyarakat itu ada sehingga tidaklah mungkin menghapus konflik seperti yang menjadi angan-angan para diktator; sebaliknya tidaklah mungkin konsensus dipertahankan terus menerus sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para penguasa otoriter.
Konflik juga menunjukkankan pada hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik mempunyai dampak yang sangat besar bagi masyarakat karena konflik yang berlangsung terus menerus akan menjurus ke arah disintegrasi sosial. Sedangkan yang di maksud dengan Teori Konflik itu sendiri adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula[3]. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

B.     Asumsi Dasar

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
C.    Pertanyaan Mendasar Mengenai Konflik
Mengapa konfik bisa terjadi?. Melihat kepada masalah hubungan antar agama ini, tentu pertanyaan itu harus bisa dijawab terlebih dahulu untuk mencari langkah yang tepat untuk menanggulangi masalah-masalah yang erat kaitannya dengan masyarakat yang multi-budaya.
Menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba menguraikan analisa berdasarkan teori konflik Marx, yang mana dikatakan bahwa di dalam suatu masyarakat dapat dijumpai hal yang dianggap baik oleh suatu golongan atau kelompok, tetapi bersifat relatif, yang berarti kebaikan itu belum tentu baik pula di mata masyarakat lain (golongan atau kelompok lain). Manusia cenderung untuk berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik (menurut hemat mereka sendiri) tadi. Karena itulah bisa menimbulkan persaingan antara individu satu dengan individu yang lain atau kelompok yang satu dengan kelompok lain, yang mencakup suatu proses untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, atau kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah sesuatu yang menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa dikatakan kelompok yang dominan). Marx menganggap bahwa proses pertikaian ini adalah proses pertentangan kelas[4].
Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai dengan ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan, pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu kepercayaan atau agama.
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi[5] terhadap agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya perkawinan antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar (contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia. Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh, atau Kristen di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan anak-anak, melalui jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikr masyarakat umumnya. Hal inilah kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu masyarakat. Hal itu bisa kita lihat contoh pada kasus pengusiran warga terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat, pada tanggal 12 Mei 2008, disebabkan perbedaan pandangan atau praktik keagamaan.
Pengaruh dominasi juga menjadi penting dalam masalah ini. Terkadang di suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama tertentu akan menekan kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan perundang-undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma agama yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung kebebasan mereka untuk menjalankan ibadah. Kelompok yang memeluk agama mayoritas merasa terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk membangun tempat ibadah. Situasi seperti ini juga dapat menyulut tindak kekerasan, contohnya pengrusakan komlpeks Pura Sengkareng di Lombok Barat, pada tanggal 16 Januari 2008[6].
Kuatnya pengaruh norma agama ini juga memperngaruhi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Banyak tindakan kekerasan kepada perempuan yang disebabkan tafsir agama dan patriarkhis dan pandangan materialis yang menempatkan tubuh perempuan sebagai objek[7]. Mereka yang berpandangan seperti ini menganggap bahwa tubuh perempuan dapat merusak moral masyarakat karena dapat memicu syahwat. Selain itu ada juga kasus di daerah tertentu (yang kekuatan agama mayoritasnya berkuasa) yang memaksakan perempuan mengenakan jilbab, seperti di Aceh.  Contoh yang cocok dengan masalah ini adalah UU pornografi yang disyahkan pada tanggal 30 Oktober 2008.  Peraturan ini kemudian menuai banyak kritikan dari berbagai pihak terkait dengan kebebasan berkespresi dan persoalan diskriminasi.
Tiga uraian di atas (tentang perbedaan paham agama, pembangunan tempat ibadah, serta UU pornografi) semakin menegaskan implikasi dari teori konflik, yang mengatakan bahwa agama dapat menjadi pemicu ketidaksetaraan dalam masyarakat. Di satu pihak mengatakan hal itu benar namun pihak yang lain tidak berpendapat demikian sehingga memicu konflik.
Mengenai kebebasan memeluk agama dan menjalankannya, tentu menjadi pertanyaan kembali, apa faktor yang menyebabkan konflik tetap saja terjadi meskipun peraturan, ketentuan, serta UU tentang kebebasan beragama telah ditetapkan. Seharusnya, sesuai logika, tentu dengan adanya UU tentang kebebasan beragama, tidak mungkin terjadinya konflik. Namun kenyataan serta data-data yang ada berkata lain.
Dalam menjawab pertanyaan yang kedua ini, penyusun mencoba melihatnya dari pendapat Marx, yang mengatakan bahwa agama adalah kendaraan politik kaum elite dalam mempertahankan status quonya.
Sebagai contoh, dari data Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008, pada bulan Juni 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang membatasi langkah gerak anggota dan pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia. Masalah yang dianggap sebagai penodaan agama ini diawali oleh konflik antar masyarakat dan kemudian berlanjut ke pengadilan. Pada tingkat tertentu, sudah jelas bahwa MUI[8] (yang pastinya akan menegakkan hukum-hukum Islam) dan beberapa ormas keislaman dan kelompok kepentingan memiliki andil besar untuk mendorong proses munculnya tuduhan penodaan agama Islam di tingkat masyarakat sipil. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian kasus konflik di tingkat masyarakat (umumnya di lingkungan masyarakat yang tidak mengerti tentang masalah multi-budaya) jatuh kepada usaha penyerangan atau tindakan kekerasan kepada kelompok minoritas (Ahmadiyah) tersebut[9].
Selain itu bisa kita lihat contoh pada beberapa kasus lain seperti pentingnya agama dalam menentukan siapa berhak memilih siapa dalam jabatan publik, yang mana hal ini mengakibatkan ketegangan antar kelompok keagamaan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat, puluhan aktivis organisasi Islam menolak rencana pengangkatan Viktor, S.H sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pasaman Barat, disebabkan perbedaan agama.
Menurut mereka, di negeri Minangkabau yang mayoritas berpenduduk muslim tidak sepatutnya memiliki seorang pemimpin yang beragama Kristen. Contoh lain adalah kasus Rudolf M. Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara, yang sempat menyerukan masyarakat untuk memilih calon gubernur yang seiman (Kristen[10]).
Politisasi agama di dalam Pemilu juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik. Banyak kaum elite yang menggunakan agama untuk mendukung kepentingan mereka, atau dengan agama pemerintah dapat menentukan kebijakan. Akan tetapi penggunaan dasar agama ini tentu hanya berdasar pada satu agama tertentu saja (mayoritas) yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Contohnya MUI di empat propinsi di Kalimantan merekomendasikan bahwa Golput adalah tindakan yang dilarang agama. Meskipun kekritisan umat dan pemimpin agama cukup tinggi dalam hal politisasi agama, namun usaha-usaha ke arah politisasi agama masih terus terjadi[11].
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat implikasi dari teori konflik Marx yang menyatakan bahwa agama menjadi kekuatan kaum elite politik atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan pengaruhnya (kekuasaannya) sehingga akan terjadi konflik karena kaum minoritas akan melakukan brontak untuk merebut kekuasaan (sesuai dengan teori dialektis).
Penyebab terakhir yang mungkin bisa menjadi bahan renungan adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makna pluralisme itu sendiri. Oleh karenanya, masyarakat lebih mementingkan apa yang baik untuk agama atau golongan yang mereka anut. Di sini lah dituntut kebijakan dari pemerintah untuk mengambil langkah dalam menyelesaikan malasah ini. Seyogyanya pemerintah mengambil langkah untuk menanamkan makna pluralisme tersebut kepada masyarakat melalaui sistem pendidikan nasional dan dimulai dari usia dini.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan pada BAB sebelumnya, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan mengenai masalah yang terjadi antara agama-agama di Indonesia (dalam sudut pandang teori konflik), antara lain sebagai berikut:
  1. Di Indonesia masih banyak terjadi konflik yang disebabkan oleh agama itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya toleransi antar umat beragama karena masih merasa agama yang mereka anut adalah yang paling benar.
  2. Masih terdapatnya kelompok agama yang dominan di beberapa daerah di Indonesia yang dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang memarginalkan kelompok lain.
  3. Banyak aturan-aturan baru dari suatu agama yang membuat rumit agama itu sendiri sehingga menimbulkan pertentangan dengan norma-norma yang ada, yang mengakibatkan konflik.
  4. Penyebab utama terjadinya konflik agama adalah disebabkan oleh pengaruh kelompok agama itu sendiri yang sangat dominan di masyarakat. Selain itu agama juga menjadi alat bagi kaum elite tertentu untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dari sekian banyak kasus yang telah diuraikan, pemerintah sudah berupaya mengeluarkan kebijkan-kebijakan untuk menangggulangi atau menyelesaikan konflik tersebut. Namun, penerapan upaya tersebut kurang maksimal karena masih banyak sifat egois dari masing-masing penganut agama yang fanatik sehingga tidak mau mengindahkan kebijakan-kebijakan tersebut. dalam menghadapi masalah hubungan antar agama ini adalah kembali kepada diri individu masing-masing. Karena umat antar agama seharusnya memiliki keterbukaan dalam menanggapi dan melihat perbedaan yang ada di antara mereka. Selain itu, sangat diharapkan kebijakan dari pemerintah untuk mengambil langkah dalam menyelesaikan malasah konflik yang terjadi antar agama-agama di Indonesia. Seyogyanya pemerintah mengambil langkah untuk menanamkan makna pluralisme, multikultural, dan masyarakat yang majemuk kepada masyarakat melalui sistem pendidikan nasional dan dimulai dari usia dini.
DAFTAR PUSTAKA 
Soekanto, Soerjon. 1982. Teori Sosiologi : Tentang Pribadi Dalam  Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia,
Pringondigdo, A.G, Prof. Dr. (Red), 1973. Ensiklopedia Umum, Yogyakarta: Kanisius
Poerwodarminto, W.J.S, 1961. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Budiardjo, Miriam. 1972. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Achmad, Nur. 2001. Pluralitas Agama. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS,
http://manshurzikri.wordpress.com/tugas/relasi agama.doc - _ftn3
Wikipedia.com


[1] Prof. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1972), hlm. 120
[2] Pringondigdo, A.G, Prof. Dr. (Red), Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), hlm. 687. Lihat juga, Poerwodarminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), hlm. 461.
[3] Wikipedia.com
[4] Soerjono Soekanto, “Teori Sosiologi: Tentang Pribadi dalam Masyarakat”, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982), hlm.7
[5] D. Hendropuspito, “Sosiologi Agama”, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 151
[6] Ibid., table 5, hlm.18
[7] Ibid., hlm.4
[8] Dadang Kahmad,  “Sosiologi  Agama”,  (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),  hlm. 147
[9]  Ibid., hlm.10
[10] Ibid., hlm.29
[11] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar