Selasa, 27 Desember 2011

sistem kekerabatan di kampung naga


BAB I
PENDAHULUAN
            Di Jawa Barat ini terdapat banyak perkampungan adat, seperti Kampung Pulo di Garut, Kampung Dukuh di Garut dan selain-lain, hingga salah satu nya adalah Kampung Naga di Tasik. Kampung Naga ini merupakan Kampung salah satu kampong adat di Jawa Barat, yang secara administrasi terletak di Desa Neglasari, Tasikmalaya.
Dalam laporan ini saya dan teman-teman satu kelompok mencoba memaparkan hasil penelitian dari para peneliti yang meneliti mengenai keadaan baik dari segi social maupun alam dari Kampung Naga itu sendiri. Dari penulisan makalah ini digunakan sumber sumber tertulis dalam menerangkana keadaan umum Kampung Naga.  Dengan demikian kami berharap agar penulisan makalah ini dapat memberikan informasi kepada para pembaca guna mengetahui gambaran umum dari Kampung Naga sebagai salah satu kampong adat di Jawa Barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lokasi Dan Keadaan Alam Kampung Naga
Kampung Naga termasuk Rukun Tetangga (RT) 01, diantara wilayah lainnya dalam kesatuan Rukun Warga (RW) 01 yang meliputi kampung Babakan, Kampung Pawitan, Kampung Pondok Waru, Kampung Bantar Saroi, Kampung Markica, Kampung Legok Dage, Kampung Kudang, dan Kampung Neundeut. Luas dari kampung Naga itu sendiri mempunya areal tanah seluas 10,5 hektar. Secara administrasi Kampung Naga merupakan bagian wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Letak dari kampung ini tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dan Tasikmalaya. Kalau dari Tasikmalaya bisa di tempuh dalam jarak 30 km, sedangkan dari Garut dapat ditempuh dengan jarak 26 km. dan dari Jawa Barat bisa di tempuh dengan jarak 106 km setelah itu dari jalan raya ke kampung Naga harus menuruni lembah kira-kira 800 meter. Sedangkan untuk menempuh Kemapung Naga dari arah Garut harus berjalan kaki menuruni jalan kecil yang berundak-undak dan berbelok-belok dengan jumlah tangga sebanyak 360 takikan. Jalan tersebut merupakan tangga untuk menuju ketepian Sungai Ciwulan, dengan menulusuri tepian Sungai ini yang kurang lebih 200 meter maka sampailah ke Kampung Naga yang di kelilingi dengan pagar dari bambu.
Disebrang sungai Ciwulan berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan yang sangat tua umurnya. Hutan tersebut dinamakan dengan nama Leuweung Larangan yang berada di sebelah timur perkampungan, sedangkan disebelah barat terdapat Leuweung Keramat. Leuweung Larang merupakan tempat yang sama sekali dilarang untuk diinjak oleh siapapun, khususnya warga Kampung Naga itu sendiri Leuweung Larangan dibatasi oleh sungai Ciwulan, sedangkan Leweung Keramat dibatasi oleh Mesjid, ruang pertemuan, dan Bumi Ageung tempat menyimpan harta pusaka.
B.     Sejarah Kampung Naga
Darai data keterangan yang didapat riwayat kampung Naga di tulis pada lembaran tembaga, tetapi pada tahun 1950 terjadi peristiwa penabakaran yang dilakukan oleh gerombolan DII/TII yang mengakibatkan terbakarnya benda-benda pusaka oleh sebab itu data-data historis yang mengenai asal-usul kampung Naga hilang akan tetapi dapat diperkiirakan sebelum agama Islam berkembang yaitu sekitar abad XII.
Sedangkan tentang nama Kampung Naga terasebut dinamai Kampung Naga menurut pemimpin adat atau kuncen, sejak nenek moyang mereka pun tidak pernah mengetahui dari mana asal-usul  nama kampung tersebut. Ada kisah sedikit tentang kampung Naga yaitu yang menceritakan tentang kewalian Syech Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparna di beri tugas untuk menyebarlkan agama Islam ke sebelah barat yang selanjutnya tiba di Desa Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari. Di sana ia bersemedi dan mendapat petunjuk bahwa ia harus  menetap di wilayah itu yang kemudian dikenal dengan Kampung Naga. Eyang Singaparna atau Galunggung dianggap sebagai nenek moyang yang paling berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat kampung Naga. Ia dimakamkan disebelah barat kampung Naga, dan makam ini dianggap makam keramat oleh warga kampung Naga.
C.    Pola Permukiman Kampung Naga
Ada dua kategori masyarakat Kampung Naga, pertama Masyarakat adat kampung Naga yang bermukim di wilayah kampung Naga itu sendiri, dan kedua Masyarakat adat kampung naga yang tinggal diluar wilayah kampung Naga.
Masyarakat yang di katagorikan kedua itu menyebut masyarakatnya masyarakat adat sa-Naga. Yang mempunya arti mereka masih satu ikatan yang utuh dengan masyarakat Kampung Naga itu sendiri namun karena terbatasnya areal kampung Naga terpaksa mereka harus tinggal di luar wilayah kampung Naga. Dan masyarakat adat sa-Naga ini juga mempunyai leluhur atau karuhun lain.
Pemukiman warga Kampung Naga itu sangat tertata rapih rumah-rumah berbaris secara teratur dengan pola memanjang dari timur ke barat atau dari barat ke timur, barisan rumah menghadap ke arah utara atau selatan. Areal tanahnya tidak rata sehingga bergelombang-gelombang dari bawah ke atas sehingga oleh warga bagi rumahnya berada di atas disebut tonggoh sedangkan yang berada dibawah disebut lebak. Bangunan tersebut berbentuk rumah panggung, dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu, semua rumah di cat dengan warna putih semua.
Bangunan rumah di Kampung Naga sekarang berjumlah 108 buah. Dan jumlah keseluruhan bangunan yang ada di kampung Naga berjumlah 111 buah. Selain rumah terdapat tiga bangunan seperti mesjid, bumi ageing, dan bale patemon yang berukuran besar dari rumah. Dahulu pada tahun 1921 bangunan Rumah kampung Naga hanya berjumlah 7 buah, yang masing-masing rumah tidak mempunyai jendela. ;pada tahun 1950an terjadi pembakaran oleh DII/TII sehingga warga kembali mendirikan bangunan rumah dengan seragam semua sama dengan ada jendela di setiap rumahnya dan dibangun dari bahan yang sama dari bambu, sedangkan atap rumah terbuat dari ijuk dengan bentuk yang khas yang disebut julang ngapak artinya sayap burung yang sedang mengembang. Selain rumah di Kampung Naga terdapat bumi Ageung, yaitu bangunan asli yang sekarang menjadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan leluhur.
Bangunan yang berukuran besar lainnya yaitu bale patemon (balai pertemuan), bangunan ini berfungsi sebagai tempat bertemunya para penduduk atau tempat untuk acara-acara lain.  Dan bangunan besar lainnya adalah mesjid merupakan tenmpat ibadah warga Kampung Naga.
Selain bangunan besar tersebut masih ada bangunan diantaranya leuit yang digunakan oleh para petani sebagai tempat untuk menyimpan padi, bangunan ini mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan rumah. Di Kampung Naga tidak ada listri ini di karenakan bangunan-bangunan yang berada di kampung naga semuanya terbuat darii bahan yang mudah ternbakar ada juga warga yang sudah mengenal dunia luar di rumahnya sudah mempunyai televise yang menyalakannya dengan menggunakan accu.
D.    Pola Kehidupan Sosial Mayarakat Kampung Naga
Kampung Naga terbaga menjadi tiga wilayah, wilayah Leuweung Keramat (tempat nenek moyang kampung Naga di makamkan) yang ada di sebelah barat, pemukiman (tempat tinggal dan bercocok tanam) di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur.
Leuweung Karamat dan Bumi Ageung yang berada dibagian barat mesjid dengan memposisikan kearah kiblat mempunyai arti secara simbolis menunjukan adanya keseimbangan  antara ajaran islam dengan tradisi local. Dengan menghadap kiblat berarti membayangkan posisinya pada kabah melalui arah barang pusaka dan Leuweung Keramat. Sedangkan Bumi Ageung memposisikan sebagai garis kosmologis yaitu seluruh bangunan rumah berpusat pada Bumi Ageung, sedangkan Bumi Ageung juga berpusat pada Leuweung Keramat.
Terhadap waktu masyarakat Kampung Naga membuat tiga patokan aktivitas yaitu Bismillah, yang berhubungan dengan awal dan yang sacral bernilai hsatu. Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik dunia tengah bdengan nilai dua. Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar bagi masyarakat kampung naga dalam melakukan aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan menghindari dari malapetaka.
Masyarakat Kampung Naga mempunyai falsafah hidup yang menjadi patokan dalam kehidupan sehari-hari yang didapatkan dari nenek moyang mereka, seperti falsafah Embah Dalem Singaparna, “teu saba, teu banda, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter”. Artinya kita semua tidak memiliki suatu apapun kecuali Yang Maha Kuasa.
E.     Sistem Kekerabatan Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung naga terdiri dari beberapa keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak yang belum menikah setiap keluarga umunya mempunyai anak tiga. Masyarakat Kampung Naga mengaku sebagai orang Sunda atau bagian dari Suku Sunda yang berada di sekitarnya, dan system kekerabatannya pun berdasarkan system kekerabatan ohrang Sunda yaitu bilateral dan parental. Dengan system ini semua anggota keluarga mengenal seluruh anggota keluarganya dengan baik.
Dalam system kekerabatan bilateral dan parental yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdapat tujuh tingkatan baik ke atas maupun ke bawah seperti berikut.
Generasi ke atas :
1.      Kolot (Sepuh),
2.      Embah, (Uyut),
3.      Buyut,
4.      Bao,
5.      Jangga Wareng,
6.      Udeg-udeg,
7.      Kait Siwur.
Generasi ke bawah:
1.      Anak,
2.      Incu (putu),
3.      Buyut,
4.      Bao,
5.      Jangga Wareng,
6.      Udeg-udeg,
7.      Kait Siwur (Gantung Siwur).
Akan tetapi seiring perkembangan jumlah penduduk, dari generasi ke generasi maka generasi ke lima sampai ke tujuh (Jangga Siwur) dari generasi ke atas hanya tinggal nama saja di karenakan orangnya sudah meninggal. Adapun generasi ke bawahnya belum sampai.
F.     Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Naga
Mata pencaharian kampung Naga disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan sekitarnya. Adapun sebagian besar mata pencahariannya adalah petani yang sebagaian besar hasilnya di konsumsi sendiri. Pengelolaan pertanian dilakukan secara Tradisonal, yaitu dengan cangkul, waluku bajak yang ditarik kerbau, landak yaitualat untuk membersihkan rumput diantara padi.
 Dalam hal bertani masyarakat Kampung Naga telah memiliki system pengetahuan sendiri terutama dalam memahami alam sekitar seperti iklim pergantian musim penghujan dan kemarau. System pengetahuan tersebut mereka pelajari dari pranatamangsa, atau kampung Naga lebih mengenal dengan sebutan tunuk, yaitu alat atau pedoman perhitungan bulan atau tahun menurut jalannya matahari. Selain itu mengetahui pula peredaran bintang dilangit yang terpenting adalah bintang waluku yang dipergunakan untuk patokan untuk melakukan aktifitas menanam padi awal permualaannya menanam.
Untuk mendapatkan penghasilan lainnya ada yang membukka perikanan seperti memelihara ikan, dan bagi mereka yang kreatif ada yang memanfaatkan hasil dari kerajinana tangan seperti membuat anyaman yang berbahan dasar dari bambu sepelrti membuat boboko, ayakan, dudukuy, nyiru dan lain-lain.
G.    Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Kampjung Naga merupakan masyarakat yang masih kepercayaan adat istiadat leluhurnya, dan mereka pun mengaku sebagai seorang muslim beragama islam dan menjalankan kewajiban sebagai orang muslim akan tetapi mereka menjalankan syariat Islam itu aga berbeda seperti orang Islam lainnya perbedaanya adalah dalam sholat lima waktuyang dikerjakan oleh Masyarakat kampung Naga hanya pada hari Jumat saja sedangkan pada hari-hari biasa mereka tidak mengerjakan sholat semua itu adalah menurut Nenek Moyang Kampjung Naga. Demikian pula dengan masalah rukun Islam yang ke 5 itu ibadah haji, menurut kepercayaan mereka ibadah haji tidak perlu dilakukan jauh-jauh ke Mekkah, tetapi bisa dilakukan dengan cukup menjalankan upacara sasih yang waktu diselenggarakannya bertepatan dengan hari raya haji yaitu tanggal 10 Rayagung.
Masayarakat kampung Naga mempunyai waktu-waktu tertentu untuk memuliakan bulan, mengadakan perayaan dan selamatan pada hari dan tanggal yang telah ditentukan baik secara adat dan kebiasaan yang berlaku. Bulan Syafar dan Ramadhan merupakan bulan larangan bagi Masyarakat Kampung Naga untuk tidak membivcarakan masalah yang berkaitan dengan adat karuhun, dan tidak boleh melakukan perkerjaan yang besar seperti membuat rumah dan kenduri. Dan waktu yang dianggap baik untuk membuat kenduri atau rumah yaitu Bulan Rayagung. Bulan Maulud biasanya digunakan untuk upacara membersihkan barang pusaka, atau memperbaiki pagar pembatas kampung. Hari pantangan bagi masyarakat kampung Naga yaitu hari Selasa, rabu dan Sabtu.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil Laporan kami yang sudah dipaparkan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Masyarakat Kampung Naga Itu penganut agama Islam di samping masyarakat Muslim tradisi adat istiadat nenek moyang masih menjadi patokan yang sangat di hormati dan di anggap tabu jika dilanggarnya dan mungkin akan membawa kerugian bagi orang yang melanggarnya juga masyarakat Kampung Naga itu sendiri.
Dalam system kekerabatan juga Masyarakat Kampung Naga sangat lah kuat kekerabatannya karena masyarakat Kampung Naga menggunakan system Bilateral dan Palental yang dimana mengenal semua anggota keluarga dari atas sampai ke bawah atau dari bawah ke atsa.
System mata pencaharian masyarakat Kampung Naga kebanyakan petani yang hasilnya di konsumsi sendiri dan tambahan lainnya dikarenakan lahan di Kampung Naga terbatas ada sebagian warga yang menjalankan usaha memelihara ikan diluar kampung Naga, dan ada juga yang kreatif membuat kerajinan tangan dari bahan bambu.
DAFTAR REFERENSI
Yanti Nisfiayanti. Pola Pengasuhan Anak Pada Masyarakat Kampung Naga Di Kabupaten Tasikmalaya. DepBudPar Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Bandung. 2005/2006.
Drs. Tjetjep Rosmana. Peran Pemimpin Informal Pada Masyarakat Kampung Naga. DepBudPar Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional bandung 2005

1 komentar: