ISLAM DAN KONSERVASI ALAM
oleh: Tata Muhtadin
oleh: Tata Muhtadin
Konservasi Alam dalam Perspektif Agama Islam
Bagai bola salju, isu-isu tentang lingkungan terus mendapatkan perhatian semakin luas. Agama-agama besar dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas perlindungan lingkungan, juga mampu memperkaya konsep-konsep hukum tentang kesinambungan ekologi.
Harus kita sadari bahwa kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga perlu kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama.
Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para elitenya dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.
Di era modern, ketika kehidupan manusia dan masalah-masalahnya begitu kompleks, peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi topangan nilai. Agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek riil masyarakat pemeluknya.
Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.
Pengembangan fikih lingkungan kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi. Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Dalam Alquran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Bahkan kata syariah yang sering dipadankan dengan hukum Islam memiliki arti 'sumber air' di samping bermakna 'jalan'. Dalam konteks perlindungan lingkungan, makna syariah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etik dan hukum.
Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam Alquran dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah sebagaimana disebut dalam QS 2:30 bermakna responsibility. Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh peribadatan dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Ini masuk akal karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan buruk dan atau rusak.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap Muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama syariah. Mustafa Abu Sway (1998) menyatakan bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi. Gagasan Mustafa Abu Sway tersebut dapat dianggap sebagai suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian lingkungan berdasarkan tujuan syariah.
Istitusi konservasi dalam syariat Islam
Semangat konservasi dan pelayaan terhadap pelestarian alam dan lingkungan terdapat cukup banyak dalam istilah yang telah digunakan, baik yang kita temukan di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab klasik. Beberapa diantaranya dalam istilah tersebut disebutkan secara spesifik dalam bentuk praktis yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa institusi penting yang dapat dipandang sangat vital sifatnya dilihat dalam kondiri terkini yang menyangkut : pembagian lahan, hutan, pengelolaan hidupan liar, pertanian dan tata kota, ada beberapa hal istilah:
- Ihya al-mawat, menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif
- Iqta, lahan yang diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk pengembang atau investor.
- Ijarah, sewa tanah untuk pertanian.
- Harim, kawasan lindung.
- Hima, kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
- Waqaf, lahan yang dihibahkan untuk kepentingan public (ummat).
Pada prinsipnya, pandangan diatas memang melekatkan secara umum tentang keharusan mengelola lahan secara baik dan benar baik untuk kepentingan manusia maupun kemanusiaan, juga untuk kepentingan alam sekitar termasuk flora dan fauna yang termasuk ciptaan Allah SWT। Enam bentuk dan istilah istitusi ini dapat dijumpai di berbagai literatur tentang pengelolaan negara (seperti kibat al-Ahkam al Sulthaniyah) hingga kitab hukum perdata (Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah yang sudah menjadi petunjuk pelaksanaan) dari berlakunya syariat Islam di jaman Turki Ustmani.
Hukum syariat Islam mempunyai bentuk-bentuk dasar dan semangat konservasi alam yang baik sebagai referensi. Beberapa prinsip diatas sebenarnya dapat diadaptasi sebagai bentuk dasar dalam konservasi alam melalui syariat Islam. Keperluan konservasi yang semakin kompleks dan meluas, dapat saling mengisi antara enam aspek diatas. Misalnya, apabila lahan di sekitar taman nasional masih diperlukan untuk pembangunan fasilitas taman nasional –yang diadopsi sebagai hima’—dalam syariat Islam, maka masyarakat dapat dilibatkan untuk mewakafkan lahan –sebagai bentuk amaliah--mereka untuk kepentingan konservasi alam.
Demikian pula zona-zona harim, dapat dimasyarakatkan melalui penyadaran kepada masyarakat bahwa melestarikan kawasan aliran air dan jasa ekosistem merupakan anjuran syariat. Maka dengan memahami penerapan syariat yang menganjurkan pada kemaslahatan bersama dan didalamnya adalah unsur ibadah kepada Allah SWT, akan lebih banyak partisipasi ummat dalam menyumbangkan lahan-lahan mereka untuk kepentingan konservasi, Insya Allah.
Ihya al- Mawat, merupakan syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia baik secara individu maupun kolektif. Semangat ini tercermin dengan penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah kawasan yang tadinya tidak mempunyai manfaat sama sekali (lahan kosong) menjadi lahan produktif karena dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran dan tanaman yang lain. Semangat ihya (menghidupkan) al-mawat (kawasan yang tadinya tidak hidup: atau mati). Merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar (tidak bertuan) dan tidak produktif.
Semangat masa awal Islam yang memberikan peluang untuk membuat perbaikan (ishlah) tercermin pada ihya al-mawat ini. Misalnya Nabi pernah bersabda:
‘Man ahya arldha maitatu fa hiya lahu,’ (siapa saja yang menghidupkan tanah yang tadinya tidak dipakai –terlantar atau bukan milik seseorang—maka tanah tersebut menjadi miliknya).
‘Man ahya arldha maitatu fa hiya lahu,’ (siapa saja yang menghidupkan tanah yang tadinya tidak dipakai –terlantar atau bukan milik seseorang—maka tanah tersebut menjadi miliknya).
Semangat menghidupkan lahan yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Ketentuan penggarapan tanah terseub menurut jumhur ulama tidak berlali bagi yang dimiliki oleh orang lain; atau kawasan yan apabila digarap akan mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum; misalnya tanah yang rawan longsor atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan berubahnya aliran air.
Oleh karena itu peraturan terhadap penguasaan lahan untuk penerapan syariat ihya al-mawat ini harus kondusif. Misalnya Khalifah Umar Ibn Khattab, membuat undang-undang, untuk mengambil alih tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila terlihat lahan-lahan yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, masyarakat –pemerintah--dapat memproses lahan tersebut untuk agar dialihkan kepemilikannya supaya dapat dihidupkan dan menjadi produktif. Demikian pula, Islam melarang individu memiliki tanah secara berlebihan, dan juga dilarang untuk memungut sewa atas tanah karena pada hakekatnya tanah itu adalah milik Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar