Senin, 19 Desember 2011

SEJARAH AWAL PENYUSUNAN DAN PEMBUKUAN HUKUM ISLAM
Oleh Tata Muhtadin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Dalam bidang fiqh  seperti  juga  dalam  bidang-bidang  yang
lain   masa  Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam  madzhab.  Di  satu  pihak
masa  itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada  masa  itu  juga  mulai  disaksikan
munculnya  tokoh-tokoh  dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan  di  bidang  keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.

Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim  ditangan  para
Sahabat  Nabi).  Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa  Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni,  kaum  Muslim  generasi  ketiga),  dianggap   sebagai
masa-masa  paling  otentik  dalam  sejarah Islam, dan ketiga
masa  itu  sebagai  kesatuan  suasana  yang  disebut   salaf
(Klasik).

Walaupun  begitu  tidaklah  berarti  masa generasi kedua ini
bebas   dari   persoalan   dan   kerumitan.   Justru   sifat
transisional  masa  ini  ditandai  berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari  sisa  dan
kelanjutan  berbagai  konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III.  Tumbuhnya
partisan-partisan  politik  yang  berjuang  keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi  klaim-klaim  mereka,  seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian  itu  antara  lain
menjadi  sebab  bagi  berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang  Nabi  dan  para  sahabat.
Melukiskan   keadaan   yang  ruwet  itu  Musthafa  al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.

Tahun  empat  puluh  Hijriah  adalah  batas  pemisah  antara
kemurnian   Sunnah  dan  kebebasannya  dari  kebohongan  dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya  Sunnah  itu
serta    digunakannya   sebagai   alat   melayani   berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah  perselisihan  antara  'Ali  dan  Mu'awiyah  berubah
menjadi peperangan dan yang  banyak  menumpahkan  darah  dan
mengorbankan   jiwa,   serta   setelah   orang-orang  Muslim
terpecah-pecah menjadi  berbagai  kelompok.  Sebagian  besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh  dendam  terhadap
'Ali  dan  Mu'awiyah  sekaligus  setelah  mereka itu sendiri
sebelumnya  merupakan  pendukung  'Ali   yang   bersemangat.
Setelah   'Ali   r.a.   wafat   dan   Mu'awiyah  habis  masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi  (Ahl
al-Bayt)  bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan  taat
pada Dinasti Umayyah.

Begitulah,   peristiwa-peristiwa   politik   menjadi   sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan  partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai  pengaruh  yang  lebih  jauh
bagi  tumbuhnya  aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya  dengan  al-Qur'an  dan
Sunnah,  dan  wajarlah  bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung  klaim-klaim  mereka.
Maka  sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash  Sunnah  pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul  hadits-hadits  yang  menguatkan  klaim  mereka,
setelah  hal  itu  tidak  mungkin  mereka  lakukan  terhadap
al-Qur'an karena  ia  sangat  terlindung  (terpelihara)  dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.

Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama  yang  dituju  para
pemalsu  hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka  dan  para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama  melakukan  hal  itu  ialah  kaum  Syi'ah
-dengan  perbedaan  berbagai  kelompok  mereka-  sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam  Syarh  Nahj  al-Balaghah,
"Ketahuilah  bahwa  pangkal  kebohongan  dalam hadits-hadits
tentang  keunggulan  (tokoh-tokoh)  muncul  dari  arah  kaum
Syi'ah..."  Tapi  kemudian  diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]

Dihadapkan keruwetan  itu,  para  Tabi'in  -dengan  dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang  amat  berat  namun  kemudian
membuahkan  hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum  Islam  melalui  fiqh  atau  "proses  pemahaman"  yang
sistimatis.

WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN

Antara   Islam  sebagai  agama  dan  Hukum  terdapat  kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal  menetap  di  Madinah  Nabi  saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah  ada  sejak  di  Makkah,  bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh  dalam  periode  pertama  itu.
Dasar-dasar  itu  memang  tidak  semuanya  langsung bersifat
kehukuman atau legalistik,  sebab  selalu  dikaitkan  dengan
ajaran   moral   dan   etika.  Maka  sejak  di  Makkah  Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan  sosial  yang  antara
lain  mendasari  konsep-konsep  tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang  diperoleh  melalui  penindasan
adalah  haram),  keharusan  menghormati  hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus  harta  anak  yatim  secara  benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu  semua  tidak  akan  tidak  melahirkan   sistem   hukum,
sekalipun  keadaan  di  Makkah  belum  mengizinkan bagi Nabi
untuk    melaksanakannya.    Maka    tindakan    Nabi    dan
kebijaksanaannya  di  Madinah  adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.

Pada masa para  sahabat  yang  kemudian  disusul  masa  para
Tabi'in,  prinsip-prinsip  yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam  yang  meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang  dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam  wawasan  geopolitik  Yunani  kuno  dianggap
sebagai   heatland  Oikoumene  (Daerah  Berperadaban  -Arab:
al-Da'irat    al-Ma'murah)    telah    mempunyai     tradisi
sosial-politik   yang  sangat  mapan  dan  tinggi,  termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan  Yunani-Romawi,  dan  Indo-Iran  umumnya. Karena itu
mudah dipahami  jika  timbul  semacam  tuntutan  intelektual
untuk  berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.

Tuntutan intelektual itu  mendorong  tumbuhnya  suatu  genre
kegiatan  ilmiah  yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang  telah  terjadi  pada  masa  tabi'in  itu ialah semacam
pendekatan   ad   hoc   dan    praktis-pragmatis    terhadap
persoalan-persoalan      hukum,      dengan      menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci,  dan  dengan
melakukan  rujukan  pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka  yang  secara  ideal  terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.

Pendekatan  ini  dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang  dan  luwes,  sehingga  mampu  menampung  setiap
perkembangan   yang   terjadi.   Berkenaan  dengan  hal  ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,

...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut  perkembangan
zaman  dan  tempat,  seperti  'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara  sepenuhnya  terperinci,   dengan   dijelaskan   oleh
nash-nash   yang   bersangkutan;   maka  tidak  seorang  pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang  berkembang
menurut  perkembangan  zaman  dan  tempat,  seperti berbagai
kepentingan  kemasyarakatan   (al-mashalih   al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di  semua  zaman
dan  agar  dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]

Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa  letak  kekuatan  Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap  perkembangan  zaman  dan  peralihan  tempat
(shalih  li  kull  zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat).  Untuk  mengerti  masalah  ini  sangat  menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,

Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam  dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan  murni,  seperti  hukum-hukum
ibadat,  tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu  ijtihad  yang  disetujuinya.  Dan  tugas  Rasul tidak
keluar  dari  lingkaran  tugas  menyampaikan  (tabligh)  dan
menjelaskan  (tabyin).  "Tidaklah  ia  (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).

Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik  dan  perang,  maka  Rasul  saw.
diperintahkan  bermusyawarah  mengenai  itu  semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat,  tapi  ditinggalkannya  dan
menerima  pendapat  para  sahabat,  sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk  kepada  Nabi  saw.,  guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan  meminta  tafsiran  tentang  makna-makna
berbagai  nash  yang  tidak  jelas  bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang  nash-nash
itu,   sehingga  Nabi  kadang-kadang  membenarkan  pemahaman
mereka  itu,  dan  kadang-kadang  beliau  menerangkan  letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
Sudah  tentu  keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati  zaman  Nabi
sendiri,  kemudian  zaman  para  Sahabat,  dan diteruskan ke
zaman  para  Tabi'in.  Tapi  jika  pada  zaman  Nabi  tempat
rujukannya  ialah  Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para  sahabat  Nabi  itu  diwarisi  banyak
tokoh,  yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak  pertikaian  politik  pada  paroh  kedua  kekhalifahan
'Utsman,     tanda-tanda     menyebarnya,    dan    kemudian
berselisihnya,  tempat  rujukan  itu  sudah  mulai   nampak.
Seperti  dilukiskan  Siba'i  yang  telah  dikutip  di  atas,
penyebaran  dan  perselisihan  otoritas  itu  memuncak  pada
sekitar  sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi  tanpa  peduli  dengan  sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun  Persatuan"  atau
"Tahun  Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu  agaknya  hanya  terbatas  pada  kenyataan
kembalinya  kesatuan  politik  (formal)  umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
 
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
 
Di   bawah   pimpinan   Khalifah   Mu'awiyah   (yang    masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum  Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan  'Umar  (zaman  al-Syaykhani,  "Dua  Tokoh")  yang  amat
dirindukan  orang  banyak,  termasuk  para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]  mensponsori
pengangkatan   'Ali  namun  akhirnya  berpisah  dan  menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan  Mu'awiyah
itu,  namun  dalam  hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat  mungkin  berpegang  dan  meneruskan  tradisi   para
Khalifah  di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah  (tapi
suatu  koalisi  yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu).  Tapi  "koalisi"  itu
mempunyai  akibat  cukup  penting  dalam  bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman  (Islam)  kepada  Hadits  atau
Tradisi  (dengan  "T"  besar)  yang  berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung  atau  tak  langsung
dari rezim Damaskus.
 
Sementara  banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah   adalah  kawasan  yang  selalu  potensial  menentang
Damaskus secara efektif. Ini  kemudian  berdampak  tumbuhnya
dua  orientasi  dengan  perbedaan  yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah)  dengan  orientasi  Haditsnya,   dan   Irak
(Kufah-Basrah)    dengan    orientasi    penalaran   pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik  tentang  hal  ini  diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
 
Pada  zaman  itu  (zaman  Tabi'in),  dalam  ifta' (pemberian
fatwa)  ada  dua  aliran:   aliran   yang   cenderung   pada
kelonggaran  dan  bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum  dan  alasan-alasannya,  sebagai
dasar   ijtihad.  Tempatnya  ialah  Irak.  Dan  aliran  yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal  tersebut,  dan
hanya  bersandar  kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni,  tradisi  atau  Sunnah)  dan  nash-nash.
Tempatnya  ialah  Hijaz.  Adanya  dua  aliran  itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
 
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan   seruannya,   kemudian   para  Sahabat  beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda  beliau  dan
menerapkannya.  Dan  (Hijaz)  tetap  menjadi  tempat tinggal
banyak dari  mereka  (para  Sahabat)  yang  datang  kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui  kepada  penduduk  (berikut)-nya,  yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
 
Sedangkan  Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya,  kompleksitas   kehidupannya,   dan   tidak
mendapatkan  bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah  oleh
mereka  itu  pun  masih  lebih  sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal  peristiwa-peristiwa  (hukum)  di  Irak  itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada  di  Hijaz;  begitu  pula  kebudayaan  penduduknya   dan
terlatihnya  mereka  itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak.  Karena  itulah  keperluan  mereka  kepada
penalaran  lebih  kuat  terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas  nampak,
mengingat  sedikitnya  Sunnah  pada mereka itu tidak memadai
untuk semua  tuntutan  mereka.  Ini  masih  ditambah  dengan
kecenderungan  mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
 
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak  berpegang  kepada
penuturan  masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y  ("Kelompok  Penalaran",
dengan   isyarat   tidak   banyak  mementingkan  "riwayat"),
sesungguhnya  itu  hanya  karakteristik   gaya   intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak  mengikuti
karakteristik  umum  itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang  sarjana  bernama  Rabi'ah  yang  tergolong
"Kelompok  Penalaran,"  dan  di  kalangan para sarjana Irak,
kelak,  tampil  seorang  penganut  dan   pembela   "Kelompok
Riwayat"   yang   sangat  tegar,  yaitu  Ahmad  ibn  Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa  sesuatu  kelompok
hanya  melakukan  satu  metode  penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan  riwayat,  adalah  tidak
tepat.   Terdapat   persilangan  antara  keduanya,  meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari  kedua
katagori  tersebut.  Ini  semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
 
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
 
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang  anggota  Majma'  al-Buhuts
al-Islamiyyah  (Badan  Riset  Islam)  Universitas  al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah  ijtihad
mutlak.  Yaitu  ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid  yang  terlebih  dahulu,  dan  yang  secara
langsung  diarahkan  membahas,  meneliti  dan  memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan  sebuah  pendapat
seorang  Sahabat  Nabi,  yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang  karena  beberapa  sebab  Sunnah   itu   tidak   muncul
sebelumnya,  kemudian  pada  zaman  Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana  lebih  mengizinkan  untuk
muncul.   Misalnya,   perubahan   situasi   politik,  dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa  perubahan  penting  dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum  keagamaan  kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung,  berkenaan
dengan  hukum,  banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum  'Abbasi  lebih
banyak    dan    lebih   tulus   perhatian   mereka   kepada
masalah-masalah  keagamaan  dari  pada  kaum  Umawi.   Sikap
berpegang  kepada  syari'ah  ini  bagi  kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan   legitimasi   politik   dan   kekuasaan   mereka
(dibandingkan  dengan  kedudukan  kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah  dan  Khawarij).  Tapi  disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan  kajian  agama,  dan  ini  pada  urutannya
memberi   peluang   lebih   baik  pada  para  sarjana  untuk
menyatakan  pendapatnya,  termasuk  menuturkan  riwayat  dan
Hadits.  Usaha  secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan  Hadits)  telah  mulai  tumbuh  sejak
jaman  'Umar  ibn  'Abd-al'Aziz  menjelang  akhir  kekuasaan
Umawi.  Kini  usaha  ini  memperoleh  dorongan   baru,   dan
merangsang  tumbuhnya  berbagai  aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang  politik,  teologi  dan
hukum, maupun yang lain. [5]
 
Semua    kegiatan    itu    juga    terpengaruh    kenyataan
sosial-politik, berupa  semakin  beragamnya  latar  belakang
etnis,  kultural  dan  geografis  anggota  masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria,  Mesir,
Persi,  dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya  tokoh-tokoh  kesarjanaan  dengan
bidang  kajian  ilmu  yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang  kajian  hukum  Islam  atau  fiqh.   Merekalah   para
pendahulu  imam-imam  madzhab,  bahkan  guru-guru para calon
imam madzhab itu.
 
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu  aliran  pikiran  (yakni,  madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan  adanya  dua  aliran  pokok:
Irak  dan  Hijaz.  Namun  diantara  keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa  yang  cukup
berarti,  dan  cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin  dalam  ketokohan  sarjana   atau   'ulama'   yang
mendominasi   suasana   intelektual  suatu  tempat,  seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
 
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
 
 1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
   kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
   Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
   dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
   dengannya. Wafat pada 94 H.
 
 2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
   kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
   istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
 
 3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
   al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
   sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
   Quraysy). Wafat pada 94 H.
 
 4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
   Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
   dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
   pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
   lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
   banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
 
5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
   Belajar dari 'Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan
   lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia
   juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah
   'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Wafat pada 98 H.
 
 6.Salim ibn 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari ayahnya
   sendiri, juga dari A'isyah, Abd Hurayrah, Sa'id ibn
   al-Musyyaib, dan lain-lain. Wafat pada 106 H.
 
 7.Sulayman ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.)
   Belajar dari patronnya sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu
   Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan sebagainya. Wafat
   pada 107 H.
 
 8.Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari
   'A'isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn 'Umar, dan
   sebagainya. Wafat pada 106 H.
 
 9.Nafi', klien 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari patronnya
   sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
   Diutus oleh 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar
   Sunnah. Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.
 
10.Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan Ibn Syihab
   al-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari 'Abd-Allah ibn
   'Umar, Annas ibn Malik, Sa'id ibn al-Musayyaib, dan
   sebagainya. Mendapat perintah dari 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz
   untuk mencatat Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan
   resmi pertama pembukuan Hadits.
 
11.Abu Ja'far ibn Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn, yang
   dikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah imam kelima kaum
   Syi'ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabir
   dan 'Abd-Allah Ibn 'Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai
   "Kepala Bani Hasyim" di zamannya. Wafat pada 114 H.
 
Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:
 
1.'Abd-Allah ibn, 'Abbas ibn 'Abd-Muthalib. Lahir dua tahun
  sebelum Hijrah, dan pernah dibacakan do'a oleh Nabi agar
  mempunyai pemahaman mendalam (tafaqquh) dalam agama. Beliau
  diajar tentang ta'wil. Dianggap Bapak Ilmu tafsir al-Qur'an.
  Belajar banyak dari 'Umar, 'Ali dan Ubay ibn Ka'b. Wafat di
  Thaif pada 68 H.
 
2.Mujahid ibn Jabr, Klien Bani Makhzum. Belajar dari Sa'd,
  'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan lain-lain. Wafat
  pada 103 H.
 
3.'Ikrimah, klien Ibn 'Abbas. Belajar dari Ibn 'Abbas,
  'A'isyah, Abu Hurayrah, dll. Pernah menyatakan ia sependapat
  dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.
 
4.'Atha ibn Rabbah. Belajar dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn
  'Abbas, dan sebagainya. Disebutkan berkulit hitam kelam,
  yang fasih dan luas pengetahuan. Sangat banyak mendapat
  pujian dari para 'ulama' yang lain, termasuk mereka yang
  hidup sezaman. Wafat pada 114 H.
 
Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:
 
1.'Alqamah ibn Qays al-Nakha'i. Lahir di masa Nabi masih
  hidup, dan belajar dari 'Umar, 'Utsman, Ibn Mas'ud, 'Ali,
  dan lainnya. Murid terkemuka Ibn Mas'ud. Wafat pada 62 H.
 
2.Masruq ibn al-Ajda' al-Hamdani. Belajar dari 'Umar, 'Ali,
  Ibn Mas'ud, dan sebagainya. Wafat pada 63 H.
 
3.Al-Aswab ibn Yazid al-Nakha'i, dan
 
4.Ibrahim ibn Yazid al-Nakha'i. Keduanya bersaudara, dan
  sama-sama tampil sebagai sarjana terkemuka. Kedua-duanya
  wafat pada 95 H.
 
5.'Amir ibn Syarahil al-Sya'bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi'in
  yang paling terkemuka. Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar
  dari 'Ali, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, 'A'isyah, Ibn 'Umar,
  dan sebagainya. Cukup menarik bahwa al-Sya'bi tidak suka
  kepada metode qiyas (analogi) yang menjadi ciri Ahl al-Ra'y
  yang dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.
 
Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:
 
1.Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia
  Sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat. Karena penampilannya
  sebagai sarjana dan peranannya dalam mendidik para Tabi'in
  maka ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari
  Nabi juga banyak belajar dari Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman,
  Ubbay, dll. Wafat pada 90 H.
 
2.Abu al-'Aliyah Rafi' ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari
  'Umar, Ibn Mas'ud, 'Ali dan 'A'isyah. Wafat pada 90 H.
 
3.Al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit.
  Dibesarkan di Madinah dan menghafal al-Qur'an di zaman
  'Utsman. Seorang pejuang yang terkenal berani, di samping
  seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110 H.
 
4.Abu al-Syaitsa', Jabir ibn Zayd, kawan Ibn 'Abbas. Banyak
  belajar dari kawannya sendiri itu. Wafat pada 93 H.
 
5.Muhammad ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar dari
  patronnya, kemudian dari Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas dan Ibn
  'Umar. Wafat pada 110 H.
 
6.Qatadah ibn Da'aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia
  juga ahli bahasa, sejarah dan geneologi (al-nasab). Wafat
  pada 118 H.
 
Dari daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli  hukum  tampil,
seperti  'Abd-al-rahman  ibn  Gahnim  al-Asy'ari,  Abu Idris
al-Khulani, Qabishah ibn Dzu'ayb,  Makhul  ibn  Abi  Muslim,
Raja  ibn  Hayah  al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling
penting dari para sarjana Syam itu ialah Khalifah 'Umar  ibn
'Abd-al-'Aziz,   terkenal   sebagai   'Umar  II  dan  banyak
dipandang sebagai yang kelima dari al-Khulafa'  al-Rasyidin,
Dialah  yang  mengukuhkan  tarbi,  (mengakui  empat Khalifah
pertama: Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali) dan  mensponsori
secara   resmi  (kenegaraan)  usaha  penulisan  Sunnah  atau
Hadits. Dia wafat pada 101 H.
 
Mesir saat itu belum menjadi  tandingan  tempat-tempat  yang
tersebut  di atas. Kota Kairo belum ada (baru didirikan oleh
Dinasti   Fathimiyah   kelak,   bersama   Masjid-Universitas
al-Azharnya),   dan   ibukota   Mesir  ialah  Fusthath  yang
perkembangannya  tidak  terlalu  pesat  seperti   lain-lain.
Walaupun begitu telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa
sarjana terkemuka, seperti  'Abd-Allah  ibn  al-'Ash  (wafat
pada  65  H.), 'Abd-al-Khayr ibn 'Abd-allah al-Yazani (wafat
pada 90 H.), Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut  sebagai
pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).
 
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga  banyak
muncul sarjana-sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari
batasan daerahnya sendiri. Mereka itu, antara  lain,  Thawus
ibn  Kaysan  al-Jundi  (wafat pada 106 H.) yang belajar dari
Zayd  ibn  Tsabit,  'A'isyah,  Abu  Hurayrah,  dan  lainnya.
Kemudian  Wahb  ibn  Munabbin al-Shan'ani, yang belajar dari
Ibn 'Umar, Ibn 'Abbas, Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114 H.
Selanjutnya   ialah   Yahya  ibn  Abi  Katsir  yang  menurut
sementara 'ulama' yang lain seperti Syu'bah  dianggap  lebih
ahli tentang Hadits daripada al-Zuhri tersebut. [7]
 
Para   tokoh  ahli  hukum  itu  dan  kegiatan  ilmiah  serta
pengajarannya telah mendorong tumbuhnya para spesialis hukum
angkatan  berikutnya,  seperti  al-Awza'i, Sufyan al-Tsawri,
al-Layts ibn Sa'd, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya,
telah  melapangkan  jalan  bagi  tampilnya para imam madzhab
yang sampai saat ini pengaruhnya masih  amat  kukuh  seperti
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal.
 
CATATAN
 
1.Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri'
  al-Islami (Kairo: al-Dar al-Qawmiyyah. 1949), hh. 7fe7).
 
2.Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan
  1968/1388), jil. I h. 13.
 
3.Ibid., h. 17.
 
4.Al-Syaykh 'Ali al-Khafifi, "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in
  wa Tabi'i 'l-Tabi'in," dalam Al-Ijtihad fi al-Syari'at
  al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami'at al-Imam Muhammad ibn Su'ud
  al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 224-5.
 
5.Ibid., h. 223.
 
6.Ibid. h. 222.
 
7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini,
  lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri'
  al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar