Kamis, 22 Desember 2011

filsafat bahasa


I. FILOSOFI ALAM

Filosofi Grik yang pertama tidak lahir di Tanah airnya sendiri,melainkan di tanah perantauan di Asia Minor. Negeri Grik di Semenanjung Balkan tidak begitu subur tanahnya. Tanahnyatanah pegunungan; sepeanjang daratan dilalui oleh bukit barisan. Teluk yang banyak, yang menjadi perhiasan pantainya, jauh pula menjorok ke dalamnegeri. Oleh karena itu tidak seberapa luas tanah yang tinggal tempat kediaman orang. Segala tempat kediaman itupun terpisah-pisah pula. Sebab itu banyak rakyat Grik yang terpaksa merantau ke tanah asing dan mendirikan negeri baru di sana. Berangsur-angsur mereka menduduki pulau-pulau yang berdekatan dalam laut Egia, dan mendiami daratan di pantai AsiaMinor. Rakyat Grik dahulu kala jadi tukang perantau karena keadaan negerinya.
Mereka yang merantau itu makmur hidupnya. Mereka hidup dari perniagaan dan pelayaran. Kemkmuran itu memberi kelonggaran bagi mereka untuk mengerjakan yang lain-lain selain daripada mencari penghidupan. Waktu yang terluang dipergunakannya untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan buah pikiran.
Itulah sebabnya, maka literatur dan filosofi Yunani yang mula-mula lahir di perantauan itu. Yang sangat kesohor dan makmur diwaktu itu adalah kota Miletos di Asia Minor. Puncak kemakmurannya terdapat di abad yang ke enam sebelum Isa. Di sanalah pula tempat kediaman filosof-filosof Grik yang pertama sebagai Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Mereka disebut filosof alam besar. Dari mana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi mereka.

1. THALES

Seperti juga dengan pujangga-pujangga Grik yang lain itu, tarikh lahirnya tidak diketahui orang dengan pasti. Banyak orang menyebut masa hidupnya dari tahun 625-545 sebelum masehi.
Thales terbilang salah seorang daripada orang pandai yang tujuh, yang kesohor dalam cerita-cerita lama Yunani. Yang lain-lainnya itu bernama Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Mereka kesohor karena petuahnya yang pendek-pendek, sebagai “kenal dirimu”, “Segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”,  “tahan amarahmu” dan banyal lagi lainnya.
Menurut ceritanya, Thales adalah seorang saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir. Ia juga seorang ahli politik yang terkenal di Miletos. Dalam pada itu masih ada kesempatan baginya untuk mempelajari ilmu matematik (ilmu pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Ada cerita yang mengatakan, bahwa Thales mempergunakan kepintarannya itu sebagai ahli-nujum. Dengan jalan itu ia menjadi kaya raya. Pada suatu waktu dinujumkannya akan ada berhana matahari pada bulan itu dan tahun itu. Nujumnya itu kena benar. Ialah gerhana matahari yang terjadi ditahun 585 sebelum masehi. Hal itu menyatakan, bahwa ia mengetahui ilmu matematik orang Babylonia, yang sangat kesohor di waktu itu.
Ada pula cerita yang mengatakan, bahwa Thales sangat menyisihkan diri dari pergaulan biasa. Ia berpikir senantiasa, dan pikirannya terikat pada alam semesta. Pada suatu hari Thales pergi berjalan-jalan. Matanya asik memandang ke atas, melihat  keindahan alam di langit. Dengan tiada setahunya, terjatuh ia masuk ke lobang. Seorang perempuan tua yang lalu dekat itu menertawakannya sambil berkata “Hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tapi jalanmu di atas bumi ini tidak kau ketahui”.
Sungguhpun Thales terbilang sebagai bapak filosofi Yunani, sebab dialah filosof pertama, ia tak pernah meninggalkan pelajaran yang dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkannya dengan mulut saja, dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke mulut pula. Baru Aristoteles, kemudian menuliskannya.
Menurut keterangan Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi daripada air dan semuanya kembali kepada airpula.
Dengan jalan berpikir Thales mendapat keputusan tentang soal besar yang senantiasa mengikat perhatian: apa asal alam ini? Apa yang menjadi sebab penghabisan dari pada segala yang ada?
Untuk mencari sebab yang penghabisan itu ia tidak memperguanakan takhyul atau kepercayaan umum di waktu pengalaman yang dilihatnya sehari-hari dijadikannya pikirannya untuk menyusun bangun alam. Sebagai seorang pesisir dapat ia melihat setiap hari, betapa air laut menjadi sumber hidup. Dan di Mesir dilihatnya dengan mata kepalanya, betapa nasib rakyat di sana bergantung kepada air sungai Nil. Air sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah sepanjang alirannya, sehingga dapat didiami oleh manusia. Jika tak ada sungai Nil itu yang melimpahkan airnya sewaktu-waktu ke darat,  negeri Mesir kembali jadi padang pasir. Sebagai seorang saudagar pelayar Thales melihat pula kemegahan air laut, yang menjadikan ia ta’jub. Sewaktu-waktu air laut itu menggulung dan menghanyutkan. Ia memusnahkan serta menghidupkan. Di sini dihapuskannya segala yang hidup. Tetapi bibit dan buah kayu-kayuan yang ditumbangkanya itu dihanyutkan dan diantarkannya ke pantai tanah lain. Bibit dan buah itu tumbuh di sana dan menjadi tanaman hidup.
Demikianlah laut menyebarkan bibit seluruh dunia, yang menjadi dasar kehidupan. Semuanya itu terpikir oleh Thales. Air yang tidak berkeputusan itu dilihatnya dalam pelayaran, berpengaruh besar atas pikiran dan pandangannya tentang alam.
“Semuanya itu air” katanya. Dalam perkataan itu tersimpul, dengan disengaja atau tidak, suatu pandangan yang dalam, yaitu bahwa “semuanya itu satu”.
Pada masa itu, selagi dunia penuh dengan takhyul dan kepercayaan yang ajaib-ajaib, buah pikiran yang mengatakan bahwa yang lahir itu tidak banyak melainkan satu, tidak dangkal maknanya. Pikirannya itu membuka mata tentang bangun alam dan menyingkapkan selimut yang selama ini menutupi kalbu manusia. Benar atau tidak pandangannya itu, tidak menjadi dalil di sini. Yang dinyatakan Cuma kelanjutan pikirannya, yang memerdekakan akal daripada belenggu takhyul dan dongeng.
Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tapi juga akhir dari segala yang ada dan yang jadi itu. Di awal air di ujung air. Air sebab yang penghabisan! Asal air pulang ke air. Air yang satu itu adalah bingkai dan pula isi. Atau dengan perkataan filosofi, air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.
Dalam pandangan Thales tak ada jurang yang memisahkan hidup dengan mati. Semuanya satu! Dan sebagai orang menurut masanya, ia percaya bahwa segala benda itu berjiwa. Benda itu bisa berubah rupanya, bisa bergerak, bisa timbul dan hilang, semuanya itu atas kodratnya sendiri.
Kepercayaan bathin Thales masih animisme. Animisme ialah kepercayaaan, bahwa bukan saja barang yang hidup mempunyai jiwa, tetapi juga benda mati. Kepercayaannya ke sana dikuatkan oleh pengalaman pula. Besi berani dan batu api yang digosok sampai panas menarik barang yang dekat padanya. Ini dipandnagnya sebagai mempunyai kodrat tanpa jiwa.
Sekianlah tentang filosofi Yunani yang pertama itu. Pandangan pikirannya menyatukan semua pada air! Air awal dan akhir.

2. ANAXIMANDROS

Anaximandros adalah murid Thales. Masa hidupnya disebut orang dari tahun 610-547 sebelum Masehi. Ia lema belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi meninggal dua tahun lebih dulu. Sebagai filosof ia lebih besar daripada gurunya. Ia juga ahli astronomi dan ahli ilmu bumi.
Menurut pendapatnya langit itu bulat seperti bola. Bumi terkandung di tengah-tengahnya.bangunnya sebagai silinder, bulat panjang, dan datar pada atasnya.
Anaximandros menuliskan buah pikirannya dengan keterangan yang jelas, sebab itu karangan-karangannya dipandang orang sebagai buku filosofi yang paling tua.
Seperti juga dengan gurunya, Anaximandros mencari akan asal dari segalanya. Ia tidak menerima apa saja yang diajarkan oleh gurunya. Yang dapt diterima akalnya ialah bahwa yang asal itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukan air. Menurut pendapatnya, barang asal itu tidak berhingga dan tidak berkeputusan. Ia bekerja selalu dengan tiada berhenti-hentinya, sedangkan yang dijadikannya tidak berhingga banyaknya. Jika benar kejadian itu tidak berhingga, seperti yang lahir kelihatan, maka yang asal itu mestilah tidak bekeputusan.
Yang asal itu, yang menjadi dasar alam dinamai oleh Anaximandros “Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini. Segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita, adalah barang yang mempunyai akhir, yang berhingga.  Sebab itu barang asal, yang tiada berhingga dan tiada berkeputusan, mustahil salah satu daripada barang yang berakhir itu. Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Di mana bermula yang dingin, di sana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang oleh yang gelap. Dan bagaimana yang berbatas itu akan dapat memberikan sifat kepad yang tidak berkeputusan?
Segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia timbul (jadi),hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam kejadian senantiasa,  yaitu dalam keadaan berpisah dari yang satu kepada yang lian. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya itu terjadi daripada Apeiron dan kembali pula kepada Apeioron.
Demikianlah kesimpulan hukum dunia menurut pandanga Anaximandros! Di situ tampak kelebihannya daripada gurunya. Selagi Thales berpendapat bahwa barang yang asal itu salah satu daripada yang lahir, yang tampak, yang berhingga juga, Anaximandros meletakkannya di luar alam dan memberikan sifat yang tiada berhingga padanya dengan tiada dapat diserupai.
Setelah dibulatkannya pahamnya, bahwa semuanya itu terjadi daripada Apeiron, dipecahnya pula soal, betapa kiranya timbul alam ini dari Apeiron itu.
Dari Apeiron keluar bermula Yang Panas dan Yang Dingin. Yang panas memalut yang dingin, sehingga yang dingin itu terkandung di dalamnya. Sebab itu yang dingin itu menjadi bumi. Dan dari yang dingin itu timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua belah yang bertentangan. Api yang memalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu berputar-putar seperti jalan roda. Karena putarannya itu timbullah di antaranya berbagai lubang. Pecahan-pecahan api itu terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan bintang.
Bumi ini bermula dipalut oleh uap yang basah. Karena ia berputar, yang basah tadi menjadi kering beragsur-angsur. Akhirnya tinggallah sisa uap yang basah itu sebagai laut pada bumi.
Atas pengaruh Yang Panas terjadilah daripada uap yang basah tadi makhluk dengan betingkat-tingkat kemajuan hidupnya. Pada permulaannya bumi ini diliputi air semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama di atas bumi ialah hewan yang hidup di dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya serupa ikan. Baru kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bangunan seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan itu terjadi manusia pertama. Manusia bermula tak bisa serupa dengan manusia sekarang. Sebab orang yang dilahirkan serupa kanak-kanak tak bisa serentak berdiri sendiri. Ia perlu akan asuhan orang lain lebih dahulu, bertahun-tahun lamanya. Makhluk sepertiitu tidak bisa hidup pada permulaan penghidupan di atas dunia ini. Pada penghidupan bermula itu satu-satunya mesti tahu menolong dirinya sendiri dengan segera, sejak dari lahirnya. Yang sanggup berbuat begitu ialah binatang yang berupa ikan.
Anaximandros menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan udara.
Pendapat Anaximandros tentang kejadian dan kemajuan makhluk di dunia ini banyak menyerupai teori Darwin, yang timbul di abad ke-19, dua puluh lima abad sesudah itu tak heran kalau orang mengarang lelucon, bahwa Anaximandros patut dipandang sebagai Darwinis, y.i.”pengikut” Darwin yang pertama sekali.
Dipandang dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal tampak pada keterangan Anaximandros tentang kejadian alam. Tetapi ditilik dari jurusan masanya, di mana segala keterangan berdasar kepada takhyul dan cerita yang ganjil-ganjil, pendapatnya itu adalah suatu buah pikiran yang sangat-lanjut. Itu saja cukuplah untuk memandang dia sebagai ahli pikir yang jenial (geniaal). Tetapi yang jadi perhatian benar bagi orang kemudian ialah caranya menguraikan buah pikirannya. Ia mencari keterangan dengan metode berpikir yang teratur. Masalah yang banyak seluk-beluknya ditinjaunya dari satu jurusan atau pokok yang mudah. Demikian juga cara ilmu sekarang bekerja, sekalipun dengan alat pikiran yang lebih sempurna.

3. ANAXIMENES

Anaximenes hidup dari tahun 585-528 s.M. Dia itu guru yang menghabiskan daripada filosofi alam yang berkembang di Miletos. Akhir kemajuan filosofi itu tidak lama setelah ia meninggal. Pada tahun 494 s.M. kota Miletos diserang dan ditaklukkan oleh Persia. Karena itu banyak ahli-ahli pikir lari dari situ. Dengan keprgian mereka itu lenyaplah kebesaran Miletos sebagai pusat pengajaran filosofi alam.
Anaximenes adalah murid Anaximandros. Sebab itu tak heran, kalau pandangannya tentang kejadian alam ini sama dasarnya dengan pandangan gurunya. Juga ia mengajarkan, bahwa barang yang asal itu sati dan tidak berhingga. Cuma ia tak dapat menerima ajaran Anaximandros,bahwa barang yang asal itu tak ada persamaannya dengan barang yang lahir dan tak dapat dirupakan. Baginya yang asal itu mestilah satu daripada yang ada dan yang tampak. Barang yang asal itu adalah udara. Udara itulah yang satu dan tidak berhingga.
Dalam pandangan tentang yang asal, Anaximenes turun kembali ketingkat yang sama dengan Thales. Kedua-duanya berpendapat, yang asal itu mestilah salah satu dari pada yang ada dan yang kelihatan. Thales mengatakan air asal dan kesudahan dari segala-galanya. Anaximenes mengatakan udara. Udara yang memalut dunia in, menjadi sebab segala yang hidup. Jika tak ada udara itu, tak ada yang hidup. Pikirannya ke sana barangkali terpengaruh oleh ajaran Anaximandros,bahwa “jiwa itu serupa dengan udara”.
Sebagai kesimpulan ajarannya disebutnya: “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain daripada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu”.
Di sini buat pertama kali pengertian jiwa masuk ke dalam pandangan filosofi. Hanya Anaximenes tidak melanjutkan pikirannya kepada soal penghidupan jiw. Soal ini terletak di luar grafis filosofis alam, yang mencari sebab penghabisan daripada alam ini. Soal jiwayang mengenai alam kecil, perasaan manusia yang hidup dalam pergaulan, baru kemudian menjadi masalah yang penting bagi filosofi. Baru Aristoteles memulai mengupasnya. Dengan itu dihidupkannya cabang ilmu baru, yang kemudian diberi nama psikologi.
Anaximenes yang mencari asal alam, belum memperhatikan benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat. Kepentingan jiwa itu tampak olehnya dalam perhubungan alam besar saja. Jiwa itu menyusun tubuh manusia menjadi satu dan menjaga supaya tubuh itu jangan gugur dan bercerai berai. Kalau jiwa itu keluar dari badan, matilah badan itu dan bagian-bagiannya mulai berceraiberai. Juga alam besar itu ada karena udara. Udaralah yang jadi dasar hidupnya. Kalau tak ada udara,gugurlah semuanya itu. Makro-kosmos (alam) dan mikro-kosmos (manusia) pada dasarnya satu rupa.
Menurut pendapat Anaximenes udara itu benda, materi. Tetapi sungguh pun dasar hidup dipandangnya sebagai benda, ia membedakan juga yang hidup dengan yang mati. Badan mati, karena menghembuskan jiwa itu keluar. Yang mati tidak berjiwa. Dalam hal ini berbeda pendiriannya dengan Thales, yang menyangka bahwa benda mati juga berjiwa. Anaximenes terlepas dari pandangan animisme.
Anaximenes mengemukakan suatu soal baru, yang belum didapat pada Thales dan Anaximandros. Ketiga-tiganya berpendapat, bahwa ada yang asal yang menjadi pokok segalanya. Tetapi Anaximenes maju selangkah lagi dengan bertanya: “Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir yang banyak ragam dan macam itu daripada barang asal yang satu itu?”.
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes mencari jawabnya dengan memperhatikan pengalaman. Semuanya terjadi dari udara. Kalau udara diam saja, sudah tentu tidak terjadi yang lahir itu dengan berbagai macam dan ragam. Sebab itu gerak udara-lah yang menjadi sebab jadinya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara menjadi jarang, terjadilah api. Kalau udara berkumpul menjadi rapat, terjadilah angin dan awan. Bertambah padat sedikit lagi, turun hujan dari awan itu. Dari air terjadi tanah, dan tanah yang sangat padat menjadi batu.
Di sini caranya mengupas soal menunjukkan dengan pikiran yang lebih tinggi. Tetapi dalam pahamnya tentang bangun alam ia terbelakang dari Anaximandros. Menurut pendapatnya dunia ini datara seperti meja bundar, dan di bawahnya ditupang oleh udara. Udarayang mengangkatnya itu tidak punya ruang buat bergerak dan bersebar, sebab itu tetap duduknya. Dan oleh karena itu bumi ini tetap pada tempatnya.
Matahari, bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap yang keluar dari bumi naik ke atas. Di atas ini jadi jarang dan sebab itu menjadi api. Api itu menjala menjadi matahari, bulan dan bintang. Tetapi di antara bintang-bintang itu ada yang semacam bumi (tanah). Bintang-bintang beredar, tetapi tidak mengelilingi bumi dari atas dan ke bawah dan kembali ke atas lagi, melainkan berkeliling di atas bumi, seperti “topi berputar di atas kepala”. Hilang timbul bintang itu tersebab karena jauh dan dekat edarannya. Kalau ia tidak kelihatan, itu tanda ia jauh dari kita, kembali pada tempat permulaan peredarannya.
Sekian tentang Anaximenes, filosof alam yang penghabisan dari golongan Miletos. Sebagai yang diajarkan oleh Anaximenes itu, filosof alamitu kembang ke seluruh dunia Grik dan perantauannya. Filosof-filosof yang datang kemudian banayk sedikitnya mengetahui pandangan alam orang Miletos itu.

II. FILOSOFI HERAKLEITOS

Herakleitos lahir di kota Ephesos di Asia Minor. Sebab itu ia seringdisebut Herakleitos orang Ephesos. Masa hidupnya kira-kira dari tahun 540-480 sebelum Masehi.
Sungguhpun ia mempunyai pandangan sendiri, yang berlainan sifatnya dari pendirian filsoof-filosof yang lalu, ia ada juga terpengaruh oleh filosofi Miletos. Ini ternyata, bahwa ia juga mengatakan satu saja anasir yang asal, yang menjaid pokok alam dan segala-galanya. Anasir yang asal itu menuruti pendapatnya api.
Api itu lebih daripada air dan udara, dan setiap orang dapat melihat sifatnya sebagai mudahbergerak dan mudah bertukar rupa. Api itu membakar semuanya, menjadikan semuanya itu menjadi api dan akhirnya menukarnya lagi jadi abu. Semuanya bertukar menjadi api, dan api bertukar menjadi semuanya. Yang kemudian ini dapat dilihat pada panas matahari yang menjadi syarat hidup bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ternyata juga pada kebesaran guna apiitu bagi peradaban manusia.
Sungguhpun Herkleitos memandang api sebagai anasir yang asal, pandangannya tidak semata-mata terikat pada alam luaran, alam besar, seperti pandangan pandangan filosof-filosof Miletos. Anasir yang asal itu dipandangnya pula sebagai kiasan  daripada segala kejadian ini. Api yang selalu bergerak dan berubah rupa itu menyatakan, bahwa tak ada yang tenang dan tetap. Yang ada hanya pergerakan senantiasa. Tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. Semuanya itu dalam kejadian.
Segala kejadian di dunia ini serupa dengan api, yang tidak putusnya dengan berganti-ganti memakan dan menghidupi dirinya sendiri. Segala permulaaan adalah mula dari pada akhirnya. Segala hidup mula daripada mati. Dalam dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berlalu. Panta rei, semuanya mengalir.
Penghidupan di dunia dan kemajuan dunia dapat diumpamakan sebagai air mengalir. Tidak pernah kita turun mandi dua kali ke dalam air yang itu juga. Airyang kita masukikedua kalinya sudah lain daripada air yang pertama kali. Rupanya saja air itu air tadi, tetapi sebenarnya sudah berganti. Air yang lain sekarang meliputi tepi sungai itu. Demikian juga tak ada barang yang tetap seperti keadaannya bermula. Tiap-tiap barang tersedia akan berubah jadi keadaan sebaliknya.
Dunia itu adalah tempat pergerakan senantiasa, tempat kemajuan yang tidak berkeputusan. Yang baru itu mendapat tempatnya dengan menghancurkan dan menewaskan yang lama. Dunia ini medan perjuangan yang tidak berkeputusan antara dua aliran yang bertentangan. Tetapi perjuangan itu adalah tanda hidup. Jika sekiranya tak ada perjuangan antara yang banyak dengan yang banyak, maka tak ada kemajuan. Segala barang yang fana, segala keadaan yang sementara, adalah tingkat berturut-turut daripada suatu gerakan yang mahabesar. “Perjuangan itu adalah bapak dari segalanya, raja dari segalanya”.
Tetapi segala perubahan dikuasai oleh hukum dunia yang satu: logos. Logos artinya pikiran yang benar. Dari itu timbul kemudian perkataaan “logika”.
Logos itulah juga yang menjadi dasar (norma) perbuatan manusia. Sebab itu mengetahui logos itu adalah kewajiban akal manusia. Dan siapa yang dapat mengetahuinya itu, dia bukan saja orang pandai tetapi juga orang cerdik. Oleh karena itu, mempunyai pengetahuan yang dalam dipandang oleh Herakleitos sebagai kesenangan yang sebesar-besarnya. Hidup berpikir adalah pangkal kesenangan.
Siapa yang mengetahui hukum dunia ini, tidak boleh tidak ia akan berlaku dalam segala tindakannya menurut hukum itu. Sebagaimana logos menguasai dunia, begitu juga perbuatannya akan dikuasai oleh akalnya (ratio). Hukum dalam alam yang besartak beda dengan hukum dalam alam kecil kita. Yaitu hukum dunia yang satu tadi: logos.
Jika dipahamkan betul uraian Herkleitos ini dan dibandingkan dengan pemandangan Thales dan Anaximandros dan Anaximenes, nyatalah bahwatujuan pandangan filosofi sudah berubah.
Inilah jasa Herakleitos yang sangat besar! Iamendapat suatu dunia baru yang tidak diketahui oleh filosof-filosof alam. Yaitu dunia pikiran yang dinamainya logos. Alam pikiran inilah yang dipersoalkan filosofi samapi sekarang kini.
Logos menjadi pusat pandangan Herakleitos tentang alam. Untuk mengetahui logos itu, yang menjadi dasar yang sebenarnya, yang terkandung dalam segala yang ada, hendaklah orang melepaskan dirinya daripada sangkanya, bahwa yang sebenarnya itu dapat diketahui oleh dengan pengalaman saja. Pengalaman tidak menyatakan kebenaran yang sebenarnya, sebab pengalaman seseorang itu sangat terbatas.
Logos itu kekal selama-lamanya. Sebab itu menurut pendapat Herakleitos, tak ada gunanya usaha ditujukan kepada mencari asal segala yang ada, seperti yang dilakukan oleh filosof-filosof alam. Bahwa logos itu berkuasa, adalah suatu bukti yang tidak perlu lagi dicari keterangannya. Susunan dunia ini, yang serupa bagi segala makhluk setiap masa, tidak dijadikan oleh siapa juga, ia ada selama-lamanya. Ia itu adalah sebagai api yang hidup selalu, yang menyala dan padam berganti-ganti. Perjalanan dunia ini, yang beredar senantiasa, tidak bermula dan tidak bekesudahan. Dunia selalu dalam kejadian, sebab tak ada kuasa di luarnya yang sanggup menahan kemajuannya. Dunia bergerak senantiasa. Sebab ia mengandung hukumnya, logosnya, dalam dadanya sendiri. Seba itu pula kemajuan berlaku menurut irama yang tetap.
Kejadian alam dalam pandangan Herakleitos pada dasarnya serupa dengan pendapat Anaximenes, seklipun berbeda dalam lukisannya. Sebab itu tak perlu diuraikan dengan panjang lebar. Cukuplah disebutkan,bahwa jadinya itu bermula dari dua macam uap yang naik dari bumi ke atas,yang satu jernih dan yang satu lagikeruh. Yang jernih menimbulkan api. Dari itu terjadi bintang-bintang. Yang keruh menimbulkan yang basah.
Juga jiwa berada dalam kejadian senantiasa. Jiwa datang daripada uap yang basah. Makin jauh ia terlepas dari yang basah itu, yaitu makin tinggi ia naik ke atas, makin dekat ia kepada yang kering-jernih dan makinbaik keadaannya. Sebaliknya, yang basah itu adalah jiwa sipemabuk, yang tak tahu kemana ia pergi.
Demikianlah pokok-pokok filosofi Herakleitos. Tulisannya banyak yang sukar dan kurang jelas. Sebab itu orang yang semasa dengan dia banyak yang menamainya “Herakleitos yang gelap”.










DAFTAR PUSTAKA

  1. Mudofir Ali. 2001, Kamus Filsuf Barat, Pustaka Pelajar. Jojakarta.
  2. Hatta, Moch. 1986, Alam Pikiran Yunani, Penerbit UI Press. Jakarta.
  3. Brouwer MAW, Drs. 1986, Sejarah Filsafat Barat, Alumni. Bandung.  Bp H. Heryadi Puspa M.
  4. Ahmad Tafsir. 1998, Filsafat Umum, Rosdajkarya. Bandung.
  5. Bertens K, Prof. 1998, Sejarah Filsafat Barat, Kanisius. Bandung.
  6. Ahmad Iyadi, Drs. H. 1998, Filsafat Umum, Pustaka Setia. Bandung. Mudakir, Drs.
  7. Tan Malaka. 2000, Madilog Filsafat Edisi 9, Basis. Jakarta.
  8. Harun Hadiwijoyo. 1983, Jari Sejarah Filsafat Barat, Kanisius. Yogyakarta.
  9. ________________. 1992, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Tiara Wacana. Yogyakarta.
  10. Sudarminta, J. 1991, Filsafat Proses, Kanisius. Yogyakarta.
  11. Beculing, R.F. 1966, Filsafat Dewasa Ini, PN Balai Pustaka. Jakarta.
  12. ________________, Susunan Ilmu Pengetahuan, Alih Bahasa, J. Drost, Gramedia. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar